Rabu, 30 Desember 2015

Falling in Love Setelah Menengok Kandang Sapi

 
Hawa sejuk langsung menyambut saya dan rekan-rekan kantor yang berniat untuk refreshing. Tinggal di kota metropolitan kedua setelah Jakarta memang lumayan membuat kepala penat. Beban pekerjaan yang menuntut kesempurnaan ditambah dengan deru mobil dan motor yang menyebabkan polusi dimana-mana. Surabaya oh Surabaya, kota kenangan tak kan terlupa… Kenangan kayak apa yah yang dimaksud lagu itu ? Hehehe…

Berbeda sekali dengan disini. Kota apel atau bisa juga disebut puncaknya Jawa Timur. Kalau Bogor punya Cipanas yang dijadikan tujuan berlibur. Kalau di Jawa Timur punya Batu yang juga jadi tujuan recharge warga kota sebelah. Kami berangkat bertujuh naik mobil pinjaman. Gelak tawa juga guyonan lepas mewarnai perjalanan kami. Maklum, kalau di kantor, untuk sekedar ngobrol pada jam kantor, kami harus rela ber-YM ria. Hmmh…

Songgoriti adalah tujuan pertama kami. Bukan untuk mandi air panas yang biasa dilakukan orang-orang jika berkunjung ke sini. Tapi, kami merindukan villa ! Untuk istirahat pastinya. Setelah melewati jalan menanjak dengan kemiringan 90 derajat (bener nggak yah ?), akhirnya kami sampai juga. Cukup luas. Satu ruangan besar termasuk ruang tamu, ruang makan, dapur, dan ruang santai untuk berkaraoke. Sedangkan kamar tidur semuanya di lantai atas. Pas dua. Satu untuk cowok dan satu untuk cewek.

Waktunya makan ! “Makan di tempatku aja om, deket kos ku dulu,” rayu rekan saya yang paling muda diantara kami. “Ok,” jawab suami seorang rekan yang juga bertugas sebagai sopir. Duh, udah menahan lapar sejak tadi, nggak tahunya tempat makan yang dimaksud ada di kota Malang, keluar dari kota Batu. Tapi, syukur deh malam itu kami berhasil menyantap ayam goreng lalapan yang murah meriah.

Malam itu kami semua saling menumpahkan uneg-uneg selama 2 bulan bekerja bersama di awal 2009. Kepala departemen, staf, tumplek blek ! Kami saling menguatkan hati untuk menghadapi tekanan yang datang bertubi-tubi, khususnya dari sang direktur yang makin hari makin sensitif. Ups !

Paginya, it’s time to the game ! Kami memang kepengen model refreshing yang juga berwawasan. Artinya, sekalian liburan, sekalian nambah ilmu dan kekompakan lah…

Setelah acara masak memasak, jangan lupakan sesi foto-foto narsis ! Hahaha… tetep ! Dengan arahan suami rekan saya tadi (satu-satunya pasangan rekan yang ikut dan bersedia jadi pembantu umum, haha…), kami pun berfoto gila demi menyalurkan hasrat want to be celebrity. Ada foto bersusun ala kaki seribu, ada foto sok nggak butuh kamera dengan memandang langit, ada juga foto ala keluarga tahun ’80-an yang posenya diam culun seribu bahasa. Ya ampuuuunnnn, nggak betah banget nahan tawa. Huahahaha…

Saking lelahnya berfoto ria, kami pun memutuskan main game dengan aura relaksasi. “Pejamkan mata. Rasakan nuansa alam di sekitar kita. Suara burung, desiran angin, bisikan dedaunan pohon. Rasakan jiwa kita menyatu dengan alam. Kumpulkan energi positif dalam diri…”, saya berkata seolah-olah udah jadi trainer top aja, padahal itu ilmu nyontek dari masa-masa ikut MLM dulu.

Ceritanya, saya lagi mengajak rekan-rekan untuk merasakan energi positif dan mengumpulkan kekuatan untuk mengalahkan kelemahan diri sendiri. Gampangnya, say that “I can !”. Tadinya sih mau mengalahkan segala kelemahan dengan analogi memukul tutup botol softdrink tepat dengan telapak tangan bagian tengah, dan tangan yang satu lagi memegang botol erat-erat. Kalau kita mampu menghimpun energi itu, botol itu bisa pecah. Itu teorinya. Prakteknya, nggak ada satu botol pun yang pecah ! Apa ada teori lain yah ? Ah, tau ah ! Yang penting, kami dapat hikmahnya bareng. Haha…

Selanjutnya, games tantangan berpasangan melewati ranjau-ranjau darurat dari kertas koran dengan mata tertutup. Maksudnya, untuk melatih komunikasi. Hanya dengarkan arahan dari pasangan. Itu saja. Terakhir, kami berlatih kepemimpinan. Masing-masing naik kursi bergantian. Dan yang lainnya, mengikuti gerakan sang pemimpin. Lucuuu banget ! Ketahuan deh gokilnya masing-masing. Ada yang gayanya cool abis karena mati gaya, tapi ada juga yang bergaya keramas bak model. Dari situ, kami juga bisa belajar karakter masing-masing.

“Sekarang, waktunya ngelihat yang beda”. Itu clue dari saya. Puas menikmati pemandangan alam di sekitar villa Songgoriti, kami meluncur menuju sebuah desa yang umumnya banyak dikunjungi pendaki, masih di kota Batu. Desa Pesanggrahan memang jadi jalan utama untuk mendaki Gunung Panderman.

Tapi, tujuan kami kali ini bukan untuk mendaki curamnya gundukan tanah eksotis itu. Saya yang memang sering wara wiri ke desa ini berniat mengajak rekan-rekan saya yang biasa jalan ke mall supaya dapat pengalaman baru.

Tulisan ‘Selamat Datang ke Wana Wisata Panderman’ terlihat jelas saat memasuki pintu gerbang Desa Pesanggrahan ini. Melihat proses pembuatan biogas sebagai bahan bakar alternatif adalah pengalaman yang ingin saya tawarkan. Melewati perkampungan Desa Pesanggrahan, kami terus naik menuju dusun yang berada tepat di lereng Panderman.

Jalan aspal yang sangat menanjak dengan pemandangan kota Batu di kanan kirinya membuat mata terasa segar. Apalagi ditambah hijaunya ladang-ladang warga yang ikut memanjakan mata. Selain itu, ada juga jalan yang bisa dilalui dengan berjalan kaki di pagi hari, labih menantang karena menyusuri hutan.

Nama dusun itu Dusun Toyomerto. Merupakan satu dusun dalam kawasan Desa Pesanggrahan yang mayoritas warganya bekerja sebagai petani dan peternak. Istimewanya, dusun ini disebut-sebut sebagai dusun biogas pertama di negeri kita ini.

Bayangkan, tidak hanya satu atau dua keluarga saja loh ! 150 keluarga disini sudah memakai kotoran sapi untuk menghidupi kepulan asap dapurnya. Kok bisa yah ?

Ini juga yang membuat rekan-rekan saya bertanya-tanya. Mereka yang biasanya rapi jali kemana-mana, saya ajak untuk menengok kandang sapi milik Pak Zakaria, salah satu peternak yang saya kenal. Baunya, nggak usah ditanya ! Merebak, hahaha…

Dengan telatennya, Pak Jack (sapaan gaulnya Pak Zakaria), menunjukkan kotoran sapi yang bercampur dengan air seni sapi diaduk-aduk dalam sebuah bak semen. Bak itu memiliki saluran yang posisinya lebih rendah. Untuk melihat bak kedua ini, kami melewati kebun labu siam atau gondes-sebutan warga disana-. Seru juga…

Rekan-rekan saya dari tadi menganga dan terus penasaran. Di bak kedua ini, kotoran sapi tadi sudah berubah bentuk jadi gas. Baknya besar dan ditutup dengan plastik tebal mirip terpal. Untuk sisa gas yang tidak mengalir ke dapur lewat sebuah selang, langsung terbuang menjadi kotoran sapi yang tidak bergas. Nah, kotoran itu langsung mengaliri ladang Pak Jack. Organik asli ! Bisa juga, setelah dikeringkan, dijual lagi jadi pupuk kandang dalam kemasan.

Ck..ck..ck.. Udah untungnya 100 % karena nggak perlu beli gas elpiji, bonusnya masih ada aja. Bisa dijual dan bikin tanaman sendiri subur pula.

Terakhir, kami mampir ke dapur, dan langsung mencoba-coba ngidupin kompor gas nya. Caranya, cukup puter kran pengalirnya di dinding dekat kompor, dan sulut tungku kompor pakai korek api. Jres, biru bo ! Gila, keajaiban memang selalu datang untuk orang-orang kreatif.

Tau nggak apa komentar rekan saya yang hobi ngemall itu ?
“Wah, ada juga yah dunia kayak gini. Ternyata hidup nggak melulu shopping dan gaul di mall, beli baju dan sepatu.”. Ditambah celetukan yang polos banget, “Wah, abis ini, aku mau beli sapi.” Hihihi… lucu banget kesimpulannya.

Sore menjelang kembali ke Surabaya tercinta, saya senang sekali bisa mengantarkan rekan-rekan saya itu pada suatu pengalaman baru. Makin bersyukur, saat kami menemukan sebuah bale-bale yang disulap menjadi surau kecil.

Keindahan lereng Panderman dan keajaiban kotoran sapi ditutup dengan shalat berjamaah di Bale Nur Alam. Bahkan, rekan saya yang tak pernah shalat di kantor pun, ikut melengkapi keindahan sore itu dengan ikut berjamaah. Ia pun mambasuh tubuhnya dengan jernihnya air wudlu yang berasal dari sumber pegunungan. Subhanallah…

Dua hari setelah falling in love bertujuh di kota Apel, kami semua di-PHK massal dengan tuduhan bos yang tidak berdasar, mencuri handphonenya! Oh my god… Hikmahnya, kami yakin bakal ditempatkan di tempat kerja yang jauh lebih baik. Meski sekarang tidak lagi sekantor, kami terus menjalin hubungan pertemanan yang akrab hingga kini. We are falling in love at Batu! ('thil)

Sby, 15 Maret 2010
 
Posted by Prita Hw
 
Baca juga disini  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar