Catatan Perjalanan Bromo Mountain,Probolinggo
Jumat-Sabtu, 24-25 Agutus 2012
Kuhirup udara segar sore hari Cemoro Lawang. Welcomeback! Akhirnya, untuk ketiga kalinya aku menjejakkan kaki di desa ini, kaki gunung Bromo, Probolinggo. Jika perjalananku yang pertama dan kedua kulakukan dengan lumayan rapi, sekitar 9 tahun yang lalu, kali ini sedikit berbeda.
Tujuan wisataku kali ini sebenarnya tercipta secara nggak sengaja, karena saking kangennya dengan hawa gunung, bau pantai, wangi hutan… Ya, semacam tempat-tempat yang jadi ceruk bukti kekuasaan Allah, Sang Maha Kuasa. Gara-garanya, temen kantor bilang mau ke Gunung Bromo, aku dengan semangat langsung bilang, hayukkk… Eh, nggak taunya yang dimaksud dengan ‘Gunung Bromo’ saat itu adalah kiasan untuk rumah kontrakan yang kami tinggali bersama, dan ia bermaksud menjaganya semasa liburan Idul Fitri. Cape de…
Tapi, aku bersyukur,, dari ketidak seriusan itulah keseriusan bermula. Berbekal pertanyaan, hayo siapa mau ikut ke Bromo? Terjaringlah hanya empat orang yang bener-bener punya kecintaan yang sama pada petualangan. Kami merindukan travelling yang berbeda. Kami berempat teman sekantor, ada aku, Amel si tomboy yang manis, Hadi si calon ustad yang GJ alias ga jelas, hehehe, dan Santos, si batman (karena berkacamata) yang dijuluki Mr.rempong… Eh, lupa. Kalo julukanku, hm.. mereka hanya sering memanggilku emak, karena paling tua diantara mereka. Walah, mendadak sensitif nih :D Dan, rombongan kami juga ketambahan tiga orang cameo, hehe, ada Rifqi atau Keceng yang adik kandungnya Hadi, si Musa alias Ndut yang kebagian jatah nemenin Keceng, dan ehm, Sulis si pujaan hatinya Santos. Kami bertujuh.
Unity in Diversity
Gado gado adalah kata yang tepat saat sedikit menengok perjalanan kami. Kami yang memang janjian by sms ataupun saling tweet di sela-sela liburan Idul Fitri asli merasa kesulitan. Utamanya aku! Kenapa? Karena harus komunikasi satu persatu, nggak sekalian kayak rapat aja, hehe.. Alhasil, miskom pun terjadi.
Aku yang mendadak harus ikutan foto kelengkapan data E-KTP (asikkk..jadi warga legal juga akhirnya:p) Jumat pagi, 24 Agustus dengan terpaksa mengabarkan ke mereka bertiga kalo aku bakalan nyusul mereka yang berangkat dari Surabaya dengan motor.
Tapi, misal jam berangkat nggak jauh beda, aku prefer ketemuan semua di Probolinggo. Tapi, dengan asumsi, si Keceng nggak bawa temen, sehingga bisa kuboncengin. Eehhh… Pukul 13.30 dengan menumpangi bus dari Jember, aku tiba dengan selamat di terminal Probolinggo. Saking PW (posisi wenak) nya aku dengan setiap terminal yang aku singgahi, aku pun santai makan lontong ala nasi KFC/McD sambil sesekali menyendok opor ayam di plastik, menu makan siang yang disiapkan eyang:D Lima menit, sepuluh menit, dua puluh menit, setengah jam, lama kutunggui balasan sms dari ketiga makhluk temanku tadi. Tak ada jawaban, sampai sms masuk berbunyi : “Kita udah di atas mak, ketemu di Bromo…” Whatz? Padahal tadi pagi, si Amel bilang kalo ketemu di pintu masuk. Ok, pintu masuk terminal, pikirku. Ternyata yang dia maksud dan baru kutahu belakangan adalah pintu masuk Bromo. Ups!
Rasa sebal sempat menjalari aku saat itu. Ya ampun, susahnya komunikasi. Kukumpulkan pikiran positif, aku bertekad show must go on! Ok, ketemu di Bromo.
Ingatan 9 tahun lalu ternyata tak cukup membantuku, dulu harus naik angkutan macam apa saat menuju Cemoro Lawang. Kutanya orang yang sekaligus menawariku menggunakan jasa ojeknya, “Cukup 100rb sampai di tempat mbak. Kalo ga, 75rb aja..”. Kutanya petugas terminal, “Di ujung jalan itu, tikungan pas, angkutan biru mbak, tapi ya harus nunggu 20 orang penuh, 25rb, sampai sore bisa bisa mbak…” Baiklah. Kulangkahkan kaki menuju angkot biru, dan sudah ada 9 orang termasuk aku yang siap menuju Cemoro Lawang, 6 diantaranya bule. How lucky I am! Meski Cuma 9 orang, tiba tiba banyak penduduk desa di sekitarnya, seperti Sukapura, Ngadisari yang kebetulan mau pulang. Penuh! Padahal mereka yang di dalam angkot itu harus menunggu 3 jam an untuk bisa berangkat.
Lama lama kesendirianku menuju Cemoro Lawang yang kira-kira berjarak kurang lebih 1,5 jam an, mencair juga. Aku duduk berdesakan di jok belakang dengan sepasang kekasih asal Jepang dan seorang cowok bule asal Jerman. Kami berempat duduk tanpa batas. Hahaha, serasa ikut international conference pas duduk berdempetan itu, saking aja nggak ada yang mau dimintai tolong foto, selain malu :D
Sesekali aku ngobrol dengan sepasang kekasih Jepang di sebelah kiriku, yang setiap berapa menit sekali tergantung sekali dengan teknologi yang mereka punya. Google map tak henti-hentinya mewarnai perjalanan mereka lewat layar Samsung android-nya. Mereka lebih memilih mengajakku ngobrol dengan Bahasa Indonesia dengan ekspresi yang lucu. Menoleh ke sisi kanan, aku pun ngobrol dengan cowok bule asal Jerman, yang ternyata melakukan perjalanannya seorang diri. Hm, I’m not alone! Aku jadi merasa betapa beragam manusia diciptakan. Meski bahasa berbeda, tapi ketika kita punya tujuan sama, terjadilah… Ternyata ada untungnya aku berangkat sendiri menuju kaki Gunung Bromo, untuk merasakan pengalaman ini…
Night at Cemoro Lawang
Turun dari angkot, aku masih menunggu jemputan, siapa lagi kalo bukan salah satu dari teman-temanku. Mereka cerdas juga. Dapet penginapan yang lumayan murah dan worth it buat jadi rekomendasi berikutnya. Sempat minta persetujuan pula lewat sms, 300rb semalem, dibagi 7 orang… Lumayan.. Eh, terakhir malah dapet diskon, jadi cuma 250rb untuk dua ruangan. Satu tempat tidur di ruang tamu lengkap dengan sofa, satu lagi kamar tertutup untuk cewek. Asikkk..gitu tadinya sebelum berangkat, udah mau tidur di musholla aja kalo mahal. Hahaha… Ternyata mereka pake password, mahasiswa dengan kantong cekak. Alhasil, si bapak pun luluh teringat anaknya. Bagusss…:D
Pertama kali dateng, aku langsung protes miskom ini itu yang terjadi selama proses planning.. Yah, biar clear dan seru untuk jadi bahan perjalanan berikutnya. “Sudah cukup mak…,” kata-kata yang sering kami lontarkan sambil meletakkan jari telunjuk di depan bibir yang lagi berbicara, dan akhirnya sukses menghentikanku. Wkwkwkwk, our way to have a joke^^
Sebelum petang menjelang, mumpung hawa dingin belum menjadi duinginnnnn, kami poto-poto narsis depan penginapan supaya bisa eksis di sosmed. Ya ampunn, gejala manusia masa kini^^ Ya, kami melakukan apapun untuk bikin suasana hepiii, temu kangen setelah libur lebaran…
Sesuai dugaan, malam yang duinginn datang, dan tak ada satupun dari kami yang bergerak untuk mandi, memanfaatkan air… Malam itu, kami larut dengan guyonan GJ sambil makan nasgor yang lumayan ajib untuk harga 7500-10rb, niat online yang gagal karena jaringan modem nggak ada dan diganti dengan nonton film, sampai go to sleeping beauty untuk persiapan mendaki gunung turun di lembah, hehehe…
Bromo, We are Go to The Top!
Suara mesin dan klakson mobil hartop – sejenis jeep – juga motor yang lewat di depan penginapan kami yang memang di pinggir jalan utama, mau tak mau membuat kami bergeming untuk menengok angka jarum jam ada di angka berapa. Pukul 3 dini hari. Oahaemm..Ngantuk dan dingin yang menyengat. Kami saling membangunkan dan bermodal sikat gigi serta cuci muka, kami pun berangkat menuju track berikutnya, lautan pasir yang sempat dijadikan venue syuting film Pasir Berbisiknya si Dian Sastro.
Tanpa bekal senter, kami turun perlahan menghitung langkah demi langkah jalan aspal yang tersisa. Kami mengandalkan sinar mobil yang lewat. Tiba tiba, gedubrakk… Si Ndut jatuh.. Walah Ndut, naek gunung pake sandal buat jalan jalan di mall, licin lah… Saran sementara, “Ati ati ya Ndut…” :D Sementara yang lain, celetukan terdengar, “Masih jauh yah?”, “Dinginnn banget…”. Aku pun menimpali, berkata-kata hanya yang positif, keragu-raguan maupun keluhan itu cukup disimpan dalam hati. Kita harus menerima apapun jadi bagian dari perjalanan di gunung. Sok bijak yah, but it’s true. Belajar dari my partner saat menaklukkan Semeru^^
Pukul 4 dini hari kami sudah ada di lautan pasir yang tak bertepi, dan belum bisa terlihat seperti apa hamparan pasir seutuhnya menyelimuti kami. Yang kami tahu, mentari di ufuk timur malu malu tapi mau mulai menampakkan rona kemerahan berbalut orange dengan sentuhan warna biru di tepinya, persis seperti pulasan eye shadow nan cantik di mata seorang model. Eksotis. Namun, kami memang sengaja tak mengejar sunrise secara khusus karena Puncak Penanjakan yang biasanya dilalui jalur motor ataupun hartop, pastilah sangat crowded. Kami mencoba memaknainya. Cieee… Si Hadi pun shalat di atas sajadah pasir, sejuk ngeliatnya… Jadi inget, manusia berasal dari tanah dan akan kembali ke tanah. Sebenarnya nilai hakiki manusia adalah sama dengan bumi… We’re nothing.
Menuju puncak pastilah nggak semulus yang dibayangkan. Persis seperti tagline motivasi yang selalu kami dengar di kantor. Ya, kami memang bekerja di bidang marketing yang khusus menangani advertising. Dengan kesempatan jenjang karir yang dimilki, kami percaya semua yang nggak mungkin menjadi mungkin dengan meyakini dan melewati tantangannya. Ya agak berbeda dengan yang biasa disebut ‘karyawan kantoran’. Kami adalah partner perusahaan yang juga punya kesempatan sama untuk have our own business.
Tantangan pertama pun dimulai. Orang lalu lalang dengan beberapa ekor kuda maupun berjalan kaki. Otomatis, debu debu yang dihasilkan jejak kaki mereka pun beterbangan ikut menyapa kami yang baru menuju pasir debu yang makin lama makin naik. Meski sudah pakai masker, dada ini rasanya sesak. Batuk batuk pun makin membuat dada ini mencoba mencari ruang longgar. Aku pun merasakan hal sama seperti dulu pertama kesini. Namun musim kali ini lebih bersahabat. Tak ada angin yang mmembawa aroma belerang yang amat sangat dan membuat mata pedih seperti dulu. Beberapa dari kami terlena dengan istirahat, duduk, berfoto, dan menumpang api unggun dadakan yang dibuat rombongan lain. Hm, nggak bagus kalo nggak cepet jalan lagi nih… Aku pun mengajak yang lain, “Lanjuttt…”
Selanjutnya, kami harus melewati tangga menuju puncak yang saat ini pegangan tangannya sudah mulai rusak. Dulu, aku pernah menghitungnya, 250 tangga, entahlah… Hadi, Santos, dan yang lain sudah lebih dulu. Sementara aku berhenti di tengah dengan terengah-engah seakan dehidrasi, tapi si pembawa air minum sudah ada di atas. Hmm..Aku pun menghela nafas sambil menunggu Amel yang masih di bawah. Kami pun lanjut lagi, 5 menit kami pun sudah berada di puncak, yang punya jalan sempit dan bagian pinggirnya dipagari sebagai bagian dari pembatas kawah yang berisi belerang aktif. Alhamdulillah… akhirnya…
“Perjalanan kita dalam mencapai sukses di pekerjaan yang kita jalani sama dengan saat aku berhenti di tengah tadi. Saat kita menoleh ke belakang, betapa jauh langkah yang sudah kita lewati. Masa sih kita nggak sampai ke puncak? Sementara orang orang lain kita lihat bisa. Aku juga tadi berpikir, orang di puncak gunung tadi kelihatan seperti semut yang berjejer-jejer mengerubuti gula. Tapi, saat kita hampir sampai, orang-orang tadi pun makin terlihat dekat…”, aku berkomentar. Kami semua pun manggut-manggut, tanda setuju.
Setelah sampai di puncak, ketika kami turun, segala beban lepas… Kami puas, kami telah melewati tantangannya. Saatnya bersenang-senang lagi.. Cari angle yang pas buat foto-foto. Sejenak kami menikmati kopi hangat di warung yang kuketahui pemiliknya bernama Bu Min asal Ngadisari, sepuluh tahun sudah ia berjualan disini. Aku dan yang lain mencari hal gila apa yang bisa kami lakukan. Amel menyapa bule dan bicara sepatah dua patah kata, “photo together,,” Cekrik. “once again…” hahaha… Aha! Aku punya ide untuk voice power alias aktivitas melatih kekuatan suara perut yang biasa kami lakukan di kantor. “Hu ha hi, high hand head, how wow hai…” Sepuluh kali aku dan Amel ber-upper-middle-lower tone ria. Yang lain, termasuk si rempong Santos, dan si GJ Hadi, malu malu sambil geli melihat kami. Sukses sudah aku dan Amel mencuri perhatian pengunjung lain. Hahahaha, kena deh! Sebagai pemanis, foto dulu sama ibu penjual kopi dan bapak penjual edelweiss yang berasal dari Lumajang. Cekrik. Tengkyu pak, bu, sukses yah!
Perjalanan kami menyusuri padang pasir untuk kembali pulang tak kami lewatkan begitu saja. Kami begitu semangat ingin menuliskan kalimat : MANAGER 2012 di atas pasir. Ini harapan kami bersama. Pulang dari Bromo, we’ll make it happen to be owner… Kami menuliskannya di jalur lewatnya hartop karena pasirnya lurus, jadilah kami was-was tulisannya bakal terlindas ban mobil. Tak ketinggalan, kami berpose di depan Pura Luhur Poten Bromo yang menjadi tempat ibadah masyarakat Tengger yang mayoritas beragama Hindu.
Pulang ke penginapan, separuh dari kami menyewa jasa ojek yang cuma 10rb. Sisanya jalan kaki. Aku termasuk yang naik ojek, seru juga meliuk liuk pake kuda besi di atas pasir. Kayak mau jatuh aja… Tapi jadinya nggak… Udah biasa katanya…
Miss You Bromo!
Kali ini, siapa yang nggak berani mandi meski air masih tetap sama dinginnya? Semua dari kami mandi. Cuma Hadi dan Amel yang tak kebagian waktu mandi karena bakal ada penginap berikutnya yang akan segera tiba. Hiii..nggak mandi :D
Perut yang keroncongan terus memanggil-manggil kami untuk segera mengisinya dengan makanan yang hangat-hangat. Soto ayam! Tapi, nyatanya yang ada soto daging. Nggak masalah…Yang penting perut terisi dan sebelum meninggalkan Bromo, kita masih sibuk merekam kenangan manis yang sudah kami lalui dari kemarin. Saat kutanya, ungkapkan satu kata yang paling mewakili perasaan kalian dari kemaren sampai detik ini? Satu-satu menjawab :
Amel tomboy (rekor ke Bromo : 1st times), “istimewa…”,
Hadi GJ (3rd times), “fantastis…”,
Santos Rempong (4th times), “senengggggg…”
Mak Prita (3rd times), “gado gado…” asem, manis, asam, terus manissssssss terussss…
Rifqy Keceng (1st times), “seruuuu…”
Sulis si Pujaan Hati (1st times), “capeeee…” hahaha…tapi seneng katanya…
Musa Ndut ((1st times), “heboohhh…”
Asikkk..Siap siap ke tujuan selanjutnya, air terjun Madakaripura, yang kata si promoter, Santos rempong, buagussssss banget… Ok, we’ll see…(‘thil)
Jumat-Sabtu, 24-25 Agutus 2012
Kuhirup udara segar sore hari Cemoro Lawang. Welcomeback! Akhirnya, untuk ketiga kalinya aku menjejakkan kaki di desa ini, kaki gunung Bromo, Probolinggo. Jika perjalananku yang pertama dan kedua kulakukan dengan lumayan rapi, sekitar 9 tahun yang lalu, kali ini sedikit berbeda.
Tujuan wisataku kali ini sebenarnya tercipta secara nggak sengaja, karena saking kangennya dengan hawa gunung, bau pantai, wangi hutan… Ya, semacam tempat-tempat yang jadi ceruk bukti kekuasaan Allah, Sang Maha Kuasa. Gara-garanya, temen kantor bilang mau ke Gunung Bromo, aku dengan semangat langsung bilang, hayukkk… Eh, nggak taunya yang dimaksud dengan ‘Gunung Bromo’ saat itu adalah kiasan untuk rumah kontrakan yang kami tinggali bersama, dan ia bermaksud menjaganya semasa liburan Idul Fitri. Cape de…
Tapi, aku bersyukur,, dari ketidak seriusan itulah keseriusan bermula. Berbekal pertanyaan, hayo siapa mau ikut ke Bromo? Terjaringlah hanya empat orang yang bener-bener punya kecintaan yang sama pada petualangan. Kami merindukan travelling yang berbeda. Kami berempat teman sekantor, ada aku, Amel si tomboy yang manis, Hadi si calon ustad yang GJ alias ga jelas, hehehe, dan Santos, si batman (karena berkacamata) yang dijuluki Mr.rempong… Eh, lupa. Kalo julukanku, hm.. mereka hanya sering memanggilku emak, karena paling tua diantara mereka. Walah, mendadak sensitif nih :D Dan, rombongan kami juga ketambahan tiga orang cameo, hehe, ada Rifqi atau Keceng yang adik kandungnya Hadi, si Musa alias Ndut yang kebagian jatah nemenin Keceng, dan ehm, Sulis si pujaan hatinya Santos. Kami bertujuh.
Unity in Diversity
Gado gado adalah kata yang tepat saat sedikit menengok perjalanan kami. Kami yang memang janjian by sms ataupun saling tweet di sela-sela liburan Idul Fitri asli merasa kesulitan. Utamanya aku! Kenapa? Karena harus komunikasi satu persatu, nggak sekalian kayak rapat aja, hehe.. Alhasil, miskom pun terjadi.
Aku yang mendadak harus ikutan foto kelengkapan data E-KTP (asikkk..jadi warga legal juga akhirnya:p) Jumat pagi, 24 Agustus dengan terpaksa mengabarkan ke mereka bertiga kalo aku bakalan nyusul mereka yang berangkat dari Surabaya dengan motor.
Tapi, misal jam berangkat nggak jauh beda, aku prefer ketemuan semua di Probolinggo. Tapi, dengan asumsi, si Keceng nggak bawa temen, sehingga bisa kuboncengin. Eehhh… Pukul 13.30 dengan menumpangi bus dari Jember, aku tiba dengan selamat di terminal Probolinggo. Saking PW (posisi wenak) nya aku dengan setiap terminal yang aku singgahi, aku pun santai makan lontong ala nasi KFC/McD sambil sesekali menyendok opor ayam di plastik, menu makan siang yang disiapkan eyang:D Lima menit, sepuluh menit, dua puluh menit, setengah jam, lama kutunggui balasan sms dari ketiga makhluk temanku tadi. Tak ada jawaban, sampai sms masuk berbunyi : “Kita udah di atas mak, ketemu di Bromo…” Whatz? Padahal tadi pagi, si Amel bilang kalo ketemu di pintu masuk. Ok, pintu masuk terminal, pikirku. Ternyata yang dia maksud dan baru kutahu belakangan adalah pintu masuk Bromo. Ups!
Rasa sebal sempat menjalari aku saat itu. Ya ampun, susahnya komunikasi. Kukumpulkan pikiran positif, aku bertekad show must go on! Ok, ketemu di Bromo.
Ingatan 9 tahun lalu ternyata tak cukup membantuku, dulu harus naik angkutan macam apa saat menuju Cemoro Lawang. Kutanya orang yang sekaligus menawariku menggunakan jasa ojeknya, “Cukup 100rb sampai di tempat mbak. Kalo ga, 75rb aja..”. Kutanya petugas terminal, “Di ujung jalan itu, tikungan pas, angkutan biru mbak, tapi ya harus nunggu 20 orang penuh, 25rb, sampai sore bisa bisa mbak…” Baiklah. Kulangkahkan kaki menuju angkot biru, dan sudah ada 9 orang termasuk aku yang siap menuju Cemoro Lawang, 6 diantaranya bule. How lucky I am! Meski Cuma 9 orang, tiba tiba banyak penduduk desa di sekitarnya, seperti Sukapura, Ngadisari yang kebetulan mau pulang. Penuh! Padahal mereka yang di dalam angkot itu harus menunggu 3 jam an untuk bisa berangkat.
Lama lama kesendirianku menuju Cemoro Lawang yang kira-kira berjarak kurang lebih 1,5 jam an, mencair juga. Aku duduk berdesakan di jok belakang dengan sepasang kekasih asal Jepang dan seorang cowok bule asal Jerman. Kami berempat duduk tanpa batas. Hahaha, serasa ikut international conference pas duduk berdempetan itu, saking aja nggak ada yang mau dimintai tolong foto, selain malu :D
Sesekali aku ngobrol dengan sepasang kekasih Jepang di sebelah kiriku, yang setiap berapa menit sekali tergantung sekali dengan teknologi yang mereka punya. Google map tak henti-hentinya mewarnai perjalanan mereka lewat layar Samsung android-nya. Mereka lebih memilih mengajakku ngobrol dengan Bahasa Indonesia dengan ekspresi yang lucu. Menoleh ke sisi kanan, aku pun ngobrol dengan cowok bule asal Jerman, yang ternyata melakukan perjalanannya seorang diri. Hm, I’m not alone! Aku jadi merasa betapa beragam manusia diciptakan. Meski bahasa berbeda, tapi ketika kita punya tujuan sama, terjadilah… Ternyata ada untungnya aku berangkat sendiri menuju kaki Gunung Bromo, untuk merasakan pengalaman ini…
Night at Cemoro Lawang
Turun dari angkot, aku masih menunggu jemputan, siapa lagi kalo bukan salah satu dari teman-temanku. Mereka cerdas juga. Dapet penginapan yang lumayan murah dan worth it buat jadi rekomendasi berikutnya. Sempat minta persetujuan pula lewat sms, 300rb semalem, dibagi 7 orang… Lumayan.. Eh, terakhir malah dapet diskon, jadi cuma 250rb untuk dua ruangan. Satu tempat tidur di ruang tamu lengkap dengan sofa, satu lagi kamar tertutup untuk cewek. Asikkk..gitu tadinya sebelum berangkat, udah mau tidur di musholla aja kalo mahal. Hahaha… Ternyata mereka pake password, mahasiswa dengan kantong cekak. Alhasil, si bapak pun luluh teringat anaknya. Bagusss…:D
Pertama kali dateng, aku langsung protes miskom ini itu yang terjadi selama proses planning.. Yah, biar clear dan seru untuk jadi bahan perjalanan berikutnya. “Sudah cukup mak…,” kata-kata yang sering kami lontarkan sambil meletakkan jari telunjuk di depan bibir yang lagi berbicara, dan akhirnya sukses menghentikanku. Wkwkwkwk, our way to have a joke^^
Sebelum petang menjelang, mumpung hawa dingin belum menjadi duinginnnnn, kami poto-poto narsis depan penginapan supaya bisa eksis di sosmed. Ya ampunn, gejala manusia masa kini^^ Ya, kami melakukan apapun untuk bikin suasana hepiii, temu kangen setelah libur lebaran…
Sesuai dugaan, malam yang duinginn datang, dan tak ada satupun dari kami yang bergerak untuk mandi, memanfaatkan air… Malam itu, kami larut dengan guyonan GJ sambil makan nasgor yang lumayan ajib untuk harga 7500-10rb, niat online yang gagal karena jaringan modem nggak ada dan diganti dengan nonton film, sampai go to sleeping beauty untuk persiapan mendaki gunung turun di lembah, hehehe…
Bromo, We are Go to The Top!
Suara mesin dan klakson mobil hartop – sejenis jeep – juga motor yang lewat di depan penginapan kami yang memang di pinggir jalan utama, mau tak mau membuat kami bergeming untuk menengok angka jarum jam ada di angka berapa. Pukul 3 dini hari. Oahaemm..Ngantuk dan dingin yang menyengat. Kami saling membangunkan dan bermodal sikat gigi serta cuci muka, kami pun berangkat menuju track berikutnya, lautan pasir yang sempat dijadikan venue syuting film Pasir Berbisiknya si Dian Sastro.
Tanpa bekal senter, kami turun perlahan menghitung langkah demi langkah jalan aspal yang tersisa. Kami mengandalkan sinar mobil yang lewat. Tiba tiba, gedubrakk… Si Ndut jatuh.. Walah Ndut, naek gunung pake sandal buat jalan jalan di mall, licin lah… Saran sementara, “Ati ati ya Ndut…” :D Sementara yang lain, celetukan terdengar, “Masih jauh yah?”, “Dinginnn banget…”. Aku pun menimpali, berkata-kata hanya yang positif, keragu-raguan maupun keluhan itu cukup disimpan dalam hati. Kita harus menerima apapun jadi bagian dari perjalanan di gunung. Sok bijak yah, but it’s true. Belajar dari my partner saat menaklukkan Semeru^^
Pukul 4 dini hari kami sudah ada di lautan pasir yang tak bertepi, dan belum bisa terlihat seperti apa hamparan pasir seutuhnya menyelimuti kami. Yang kami tahu, mentari di ufuk timur malu malu tapi mau mulai menampakkan rona kemerahan berbalut orange dengan sentuhan warna biru di tepinya, persis seperti pulasan eye shadow nan cantik di mata seorang model. Eksotis. Namun, kami memang sengaja tak mengejar sunrise secara khusus karena Puncak Penanjakan yang biasanya dilalui jalur motor ataupun hartop, pastilah sangat crowded. Kami mencoba memaknainya. Cieee… Si Hadi pun shalat di atas sajadah pasir, sejuk ngeliatnya… Jadi inget, manusia berasal dari tanah dan akan kembali ke tanah. Sebenarnya nilai hakiki manusia adalah sama dengan bumi… We’re nothing.
Menuju puncak pastilah nggak semulus yang dibayangkan. Persis seperti tagline motivasi yang selalu kami dengar di kantor. Ya, kami memang bekerja di bidang marketing yang khusus menangani advertising. Dengan kesempatan jenjang karir yang dimilki, kami percaya semua yang nggak mungkin menjadi mungkin dengan meyakini dan melewati tantangannya. Ya agak berbeda dengan yang biasa disebut ‘karyawan kantoran’. Kami adalah partner perusahaan yang juga punya kesempatan sama untuk have our own business.
Tantangan pertama pun dimulai. Orang lalu lalang dengan beberapa ekor kuda maupun berjalan kaki. Otomatis, debu debu yang dihasilkan jejak kaki mereka pun beterbangan ikut menyapa kami yang baru menuju pasir debu yang makin lama makin naik. Meski sudah pakai masker, dada ini rasanya sesak. Batuk batuk pun makin membuat dada ini mencoba mencari ruang longgar. Aku pun merasakan hal sama seperti dulu pertama kesini. Namun musim kali ini lebih bersahabat. Tak ada angin yang mmembawa aroma belerang yang amat sangat dan membuat mata pedih seperti dulu. Beberapa dari kami terlena dengan istirahat, duduk, berfoto, dan menumpang api unggun dadakan yang dibuat rombongan lain. Hm, nggak bagus kalo nggak cepet jalan lagi nih… Aku pun mengajak yang lain, “Lanjuttt…”
Selanjutnya, kami harus melewati tangga menuju puncak yang saat ini pegangan tangannya sudah mulai rusak. Dulu, aku pernah menghitungnya, 250 tangga, entahlah… Hadi, Santos, dan yang lain sudah lebih dulu. Sementara aku berhenti di tengah dengan terengah-engah seakan dehidrasi, tapi si pembawa air minum sudah ada di atas. Hmm..Aku pun menghela nafas sambil menunggu Amel yang masih di bawah. Kami pun lanjut lagi, 5 menit kami pun sudah berada di puncak, yang punya jalan sempit dan bagian pinggirnya dipagari sebagai bagian dari pembatas kawah yang berisi belerang aktif. Alhamdulillah… akhirnya…
“Perjalanan kita dalam mencapai sukses di pekerjaan yang kita jalani sama dengan saat aku berhenti di tengah tadi. Saat kita menoleh ke belakang, betapa jauh langkah yang sudah kita lewati. Masa sih kita nggak sampai ke puncak? Sementara orang orang lain kita lihat bisa. Aku juga tadi berpikir, orang di puncak gunung tadi kelihatan seperti semut yang berjejer-jejer mengerubuti gula. Tapi, saat kita hampir sampai, orang-orang tadi pun makin terlihat dekat…”, aku berkomentar. Kami semua pun manggut-manggut, tanda setuju.
Setelah sampai di puncak, ketika kami turun, segala beban lepas… Kami puas, kami telah melewati tantangannya. Saatnya bersenang-senang lagi.. Cari angle yang pas buat foto-foto. Sejenak kami menikmati kopi hangat di warung yang kuketahui pemiliknya bernama Bu Min asal Ngadisari, sepuluh tahun sudah ia berjualan disini. Aku dan yang lain mencari hal gila apa yang bisa kami lakukan. Amel menyapa bule dan bicara sepatah dua patah kata, “photo together,,” Cekrik. “once again…” hahaha… Aha! Aku punya ide untuk voice power alias aktivitas melatih kekuatan suara perut yang biasa kami lakukan di kantor. “Hu ha hi, high hand head, how wow hai…” Sepuluh kali aku dan Amel ber-upper-middle-lower tone ria. Yang lain, termasuk si rempong Santos, dan si GJ Hadi, malu malu sambil geli melihat kami. Sukses sudah aku dan Amel mencuri perhatian pengunjung lain. Hahahaha, kena deh! Sebagai pemanis, foto dulu sama ibu penjual kopi dan bapak penjual edelweiss yang berasal dari Lumajang. Cekrik. Tengkyu pak, bu, sukses yah!
Perjalanan kami menyusuri padang pasir untuk kembali pulang tak kami lewatkan begitu saja. Kami begitu semangat ingin menuliskan kalimat : MANAGER 2012 di atas pasir. Ini harapan kami bersama. Pulang dari Bromo, we’ll make it happen to be owner… Kami menuliskannya di jalur lewatnya hartop karena pasirnya lurus, jadilah kami was-was tulisannya bakal terlindas ban mobil. Tak ketinggalan, kami berpose di depan Pura Luhur Poten Bromo yang menjadi tempat ibadah masyarakat Tengger yang mayoritas beragama Hindu.
Pulang ke penginapan, separuh dari kami menyewa jasa ojek yang cuma 10rb. Sisanya jalan kaki. Aku termasuk yang naik ojek, seru juga meliuk liuk pake kuda besi di atas pasir. Kayak mau jatuh aja… Tapi jadinya nggak… Udah biasa katanya…
Miss You Bromo!
Kali ini, siapa yang nggak berani mandi meski air masih tetap sama dinginnya? Semua dari kami mandi. Cuma Hadi dan Amel yang tak kebagian waktu mandi karena bakal ada penginap berikutnya yang akan segera tiba. Hiii..nggak mandi :D
Perut yang keroncongan terus memanggil-manggil kami untuk segera mengisinya dengan makanan yang hangat-hangat. Soto ayam! Tapi, nyatanya yang ada soto daging. Nggak masalah…Yang penting perut terisi dan sebelum meninggalkan Bromo, kita masih sibuk merekam kenangan manis yang sudah kami lalui dari kemarin. Saat kutanya, ungkapkan satu kata yang paling mewakili perasaan kalian dari kemaren sampai detik ini? Satu-satu menjawab :
Amel tomboy (rekor ke Bromo : 1st times), “istimewa…”,
Hadi GJ (3rd times), “fantastis…”,
Santos Rempong (4th times), “senengggggg…”
Mak Prita (3rd times), “gado gado…” asem, manis, asam, terus manissssssss terussss…
Rifqy Keceng (1st times), “seruuuu…”
Sulis si Pujaan Hati (1st times), “capeeee…” hahaha…tapi seneng katanya…
Musa Ndut ((1st times), “heboohhh…”
Asikkk..Siap siap ke tujuan selanjutnya, air terjun Madakaripura, yang kata si promoter, Santos rempong, buagussssss banget… Ok, we’ll see…(‘thil)
Posted by : Prita HW
Baca juga disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar