Tampilkan postingan dengan label Catatan Perjalanan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Catatan Perjalanan. Tampilkan semua postingan

Minggu, 31 Januari 2016

Pendakian Burangrang #ekspedisicariair

Semilir lembah nan sejuk menyambut kedatangan kami di Desa Bukit Pintu Angin. Hari belum terlalu siang, namun sengatan matahari terasa sekali membakari kulit. Camcorder di tanganku mulai merekam suasana. Gunung Burangrang, 2064 mdpl, dengan empat puncaknya yang terjal dan curam menantang setiap pendaki untuk datang.

Desa Bukit Pintu Angin 1480 mdpl) merupakan gerbang masuk jalur pendakian menuju Gunung Burangrang dan Gunung Tangkuban Parahu dari arah Cimahi, Bandung, Jawa Barat. Kesejukan semilir lembah, rerumputan nan hijau dan barisan pepohonan pinus yang indah menjulang membuat langkah-langkah kaki kami (aku, Ican, Mellon, Tika, Nia dan Miftsex) tak rasakan lelahnya pendakian.

Sekitar satu jam telusuri jalur pendakian sampailah kami di titik tinggi pertama (1600 mdpl), selanjutnya Jalur yang dilalui mulai terasa sulit. Tanah merah berdebu, undakan-undakan yang cukup tinggi, akar-akar pohon hutan yang menjulur rambat serta bebatuan gunung yang menyembul dari permukaan tanah menjadi pijakan kaki-kaki kami jejaki jalur pendakian. Di tempat ini, atmosfer di sekitaran terasa semakin sejuk, baik sekali bagi kesegaran nafas para pendaki.

Di titik tinggi 1560 mdpl, Peta Rupa Bumi Digital Indonesia kawasan Bandung Utara dibentangkan. Tepat di hadapan kami terdapat dua jalur yang menghubungkan kedua gunung. Jalur kiri menuju Gunung Burangrang dan jalur kanan menuju Gunung Tangkuban Parahu. Kedua jalur tersebut sama-sama melipiri punggungan gunung. Bagi kami, Peta merupakan penunjuk arah utama setelah Kompas, apabila ada GPS itu tentu akan lebih baik.

Setelah beristirahat beberapa menit sambil menghirupi segarnya udara pegunungan, pendakian pun dilanjutkan. Melalui peta rupa bumi dapat dipelajari lapisan kontur tanah makin terlihat rapat, itu bisa diartikan jalur pendakian kian terjal dan menanjak sekitar sekitar 40 - 90 derajat yang membuat kami harus mendongakkan kepala untuk melihat jalur pendakian di depan.



Pendakian dilanjutkan. Air mineral sedikit demi sedikit telah hilang di tenggorokan. Membasahi kerongkongan kami yang mulai terasa mengering. Tapi puncak Burangrang masih sekitar 2,5 jam pendakian lagi. Jadi, tak ada pilihan lain bagi kami selain terus menjejakkan kaki dan tiba di puncak.

Pada titik ketinggian 1700 mdpl, udara kian terasa dingin dan perlahan berkabut. Hanya sesekali sinaran matahari masuk menembusi dedaunan hutan kemudian meredup kembali. berlapis kabut tebal-tipis lah yang menutupinya. Kicauan burung riuh terdengar, bermacam riuh suaranya. Lengkingan lutung pun terdengar melengking-lengking di kejauhan. Mungkin mengabarkan kepada kawanannya tentang keberadaan kami di sekitar teritori kehidupannya. Duhai alam.., liar lah kau..!!!
Dari sekitar tempat tinggi ini juga, kami, sang para pendaki disuguhkan lukisan pemandangan alam nan mengagumkan. Tempat yang bagus sekali untuk berfoto-foto atau sekedar melepaskan lelah yang mulai menjalari kaki. Barisan hutan pinus 200 meter dibawah kaki kami begitu indah di pandangan. Tak habis disitu, punggungan Gunung Tangkuban Parahu dengan lembahnya yang hijau lebat tersirami sinar matahari, begitu cantik memikat hati.





Naik lagi ke titik tinggi 1922 mdpl, persediaan air mulai menipis. Menurut Peta Digital ada sebuah mata air sekitar 100 meter di atas sana dan itu baru perkiraan saja menyadari musim sedang kemarau sehingga belum tentu bagi kami menemukannya. Meski begitu pendakian jalur terjal tetap ditaklukkan.

Sampai di sekitar titik tinggi 1980 mdpl, persediaan air semakin tipis. Hanya tinggal tersisa 2 liter air saja dan itu jelas tidak akan cukup walau untuk sekedar menjejak di puncak. Peta Digital kembali dibuka, diamat-amati dan coba dipahami. Menurut perkiraan memang ada sebuah sumber mata air tidak jauh dari tempat kami berdiri, berada di luar jalur pendakian, turun ke sisi tebing sebelah kiri dengan tatanan kontur tanah yang rapat sebanyak 5 tingkat. Itu bisa diartikan bagaikan menuruni bangunan 10 lantai dengan menggunakan tangga darurat !!!

Dua orang dari kami segera mencari sumber air. Ican dan Mellon yang dikirimkan. Sedangkan kami yang sisa berempat ini menunggu sambil melepaskan lelah yang mulai akrab di kaki. Suasananya Tenang sekali, dihibur cericau burung yang bermain-main di ranting. Diantaranya ada yang terlihat sedang memakan ulat, lucu sekali. Udaranya tetap dingin, walaupun matahari bersinar seterik-teriknya di langit.

Sekitar 1 jam Ican dan Mellon turun mencari air, mereka pun kembali. Kabar yang dibawanya, “Sumber airnya kering! ini pasti pengaruh musim, kita memang sedang di penghujung kemarau,” katanya. Peta Digital kembali dibuka. Perkiraan sumber mata air terdekat adalah setelah melewati puncak, dan itu sungguh tidak mungkin untuk dicapai. Pilihan lainnya adalah turun kembali ke titik 1630 mdpl, di sekitar sana juga diperkirakan ada sumber mata air yang diharapkan mengalir.
Kali ini aku dan Miftsex yang mencari. Keril isi maksimal 80 liter kukosongkan. Rencananya kami akan menganngkut air dengan menggunakan double trashbag. Paling tidak dengan menggunakan kantung itu sekitar 50 liter air dapat diangkut sekalian.

Udara semakin dingin, cahaya didalam hutan pun semakin meredup, padahal hari belum terlalu sore. Kabut bergulung yang merayapi barisan pepohonan hutan terasa mulai menyulitkan jarak pandang. Seperti jalur pendakiannya, jalur turun yang dilalui pun terlihat makin curam. Adrenaline meningkat, sedetik darah serasa berdesir saat harus melewati sebuah jalur dimana kami berada diantara kedua jurang. Di kiri dan kanan jurang, tak terhitung dasarnya yang terselimuti kabut. sangking takjub melihat kedalaman kedua jurang yang membelah jalur pendakian ini, aku memberikan nama khusus sebagai "Jalur Shirotol Mustaqim". Sesuatu yang membuat diri rasakan tenang menjejakkan kaki disana adalah ruas jalurnya yang landai, tak ada tanjakan ataupun turunan sehingga kami dapat melangkah-langkah dengan santai dan tenang. Ketenangan saat melintasi jalur ini amat sangat disarankan.

Sampai di titik yang ditentukan, Peta Digital di genggamanku kembali dibuka. Di sekitar tempat ini lah diperkirakan sumber mata air itu berada. Setelah menebas semak belukar di sekitaran terbukalah sebuah jalur berkontur batu yang tampaknya sudah lama tidak dilewati pendaki. "Mungkin ini adalah jalur menuju sumber mata air itu," gumamku. Kondisi jalur yang akan dilewatinya rusak yang bisa diartikan sebagai jalur yang sangat-sangat curam untuk dilalui. Undakan bebatuan yang dipijaki licin berlumut, bercampur pula tanah merah berdebu membuat siapapun harus ekstra hati-hati melangkahinya apabila tidak ingin terperosok dan entah mendarat di jurang sebelah mana.
Setelah sekian puluh meter terus menuruni jalur lumut berbatu, tanda-tanda keberadaan mata air belum juga tampak. Hati kecil sempat cemas mengingat teman-teman sudah menunggu kami cukup lama di atas sana.

Keadaan suasana di dalam hutan semakin gelap, tapi kami yakin arah yang ditempuh sedikitpun tidak tersasar. Walau lelah, kami berusaha untuk tetap berada di jalur yang harus dengan cermat-cermat pula dilaluinya.

Cahaya yang menembus ke dalam hutan semakin meredup. Penerangan bantuan belum sangat kami perlukan sebab jalur yang dilalui masih terlihat walau mulai samar. Hatiku mulai cemas, tapi ku usahakan untuk tidak terlalu menguasai karena akan merusak konsentrasi. Saat beristirahat sejenak sempat kuputuskan untuk menghentikan pencarian sumber mata air karena kondisi disekitaran mulai gulita dan berkabut. Haus ditenggorokan sudah tidak dirasai lagi, namun bayangan air dingin nan sejuk semakin membayang-bayang di mata. Sebelum putus asa dan benar-benar tersesat, pencarian air terpaksa dilakukan ke desa terdekat dengan sejuta resiko dan konsekuensinya, potong jalur kompas jadi pilihan terbaik.

Bukit Pintu Angin lah yang paling dekat. Gulita sudah benar-benar menguasai. Tapi hati kami begitu tenang karena sumber mata air telah di hadapan. Temanku Miftsex sudah bisa tertawa-tawa lagi. Raut wajahnya sudah tidak sekaku tadi waktu di hutan. Bukannya untuk menggoda, tetapi dia terlihat begitu cemas tadi.

Sambil mengisi trashbag dengan air yang keluar dari pancuran milik warga desa, Wahcigarette sebatang dua dibakari. Aroma nirwana membumbung wangi sekali, bawakan kami sejuta ketenangan di hati. Kami tertawa-tawa di rindangan pohon mengingat perjalanan turun mencari air tadi. Cuaca memang sedang dipengaruhi musim kemarau, jadi wajar saja jika sumber mata air mengering.
Dalam beberapa menit, separuh double trashbag telah terisi air, tinggal beberapa liter lagi tentu akan cukup untuk persediaan hingga esok hari. Setelah dirasai cukup, double trashbag tersebut dimasukkan ke dalam keril, sekitar 60 liter air telah siap untuk diangkut. Sesuai dengan perjanjian tanpa materai 6 ribuan, kami akan memikulnya bergantian. Ada canda disana, "Seperti mempraktekkan peribahasa saja, “Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”, seloroh Miftsex cairkan suasana.



Perjalanan memikul air kembali menuju titik tinggi 1980 mdpl dimana teman-teman menunggu terasa sangat berat. Double trashbag berisi sekitar 60 liter air lah yang membuat langkah-langkah kami kami tak mampu untuk mendaki cepat. Seisi hutan sudah gulita semuanya. Cahaya senter dalam genggaman dengan susah payah menembusi kabut tebal yang menghalangi pandangan. Suasananya mencekam, tapi kaki-kaki tetap kami langkahkan tuk segera sampai di tujuan.

Sampai di titik yang telah ditentukan, ternyata teman-teman sudah tidak berada disana. Keyakinan kami mengatakan mereka sudah pindah lebih dahulu mencari space untuk mendirikan tenda. Kaos yang kami kenakan sudah basah sejak tadi oleh keringat. Nafas yang tersengal-sengal diatur hela hembusannya untuk tetap stabil. Kukatakan pada Miftsex kalau teman-teman tidak jauh dari sini. Menurutku berdasar keterangan Peta Digital ada sebuah dataran yang kiranya cukup untuk mendirikan 1-2 buah tenda sekitar 60 meter di atas sana.

Perkiraanku tidak meleset. Teman-teman memang berada di tempat itu. Tenda berkapasitas 7 orang sudah tegak didirikan. Demi mengabarkan kedatangan, kutirukan seruan si Amang dan berjawab. Teman-teman berhamburan menyambut kami.

Keril berisi sekitaran 60 liter air segera kuserahkan. Senyuman dan salam dari teman-teman sudah lebih dari cukup sebagai penghargaan. Merebahkan badan sambil menghilangkan pegal-pegal di kaki memang sudah direncanakan semenjak di bawah tadi. 3 jam perjalanan turun-naik membuat diri merasakan lelah yang sangat. Udara dingin yang meliputi seisi hutan tidak terasa mengganggu, badan ku sesekali berasap memuaikan uap keringat. Dan di hamparan matras yang digelarkan teman-teman aku sempat tertidur sejenak.

Minuman panas dan makan malam sudah terhidang saat aku dibangunkan. Udara dingin dalam sekejap menjalari seluruh tubuh. Kukenakan mantel tebal tuk menghangatkan badan. Teman-teman yang lain bersenda gurau mengitari perapian. Langit di atas Burangrang begitu cerahnya malam ini. Bintang kerlap-kerlip bertebaran memayungi, indahnya bukan main. Suasana seperti inilah yang dirindukan setiap pecinta alam, kedamaian yang menenangkan.



Lepas dari tengah malam, kami semua masuk ke dalam tenda. Udara dingin mulai terasa menggiti tulang. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, perapian pun dimatikan. Tibalah saat bagi kami tuk beristirahat sebab esok pendakian menuju puncak Burangrang harus dilanjutkan.

HUTAN BURANGRANG pukul 07.10 pagi.

Mataharinya cerah sekali. Tapi kabut tebal tipis masih terlihat menguasai. Teman-teman masih tertidur di dalam tenda. Walau sudah tahu kesiangan mereka tetap enggan melepaskan sleeping bag yang membaluti badan. Kuhirupi kesegaran udara di luar. Kusempatkan juga melakukan sedikit gerak badan sambil berjalan-jalan diantara pepohonan hutan. Nikmati suasana pagi di hutan Burangrang sungguh menyenangkan.

Saat kembali ke tenda, teman-teman sudah bangun semuanya. Mellon dan Miftsex terlihat menyiapkan sarapan, yang lain membereskan peralatan tidur dan merapikannya. Aku langsung memesan segelas teh manis panas, rasanya nikmat sekali diminum di udara pagi sedingin ini.



Lewat dari tengah hari pendakian menuju puncak pun dilakukan. Kaki-kaki kami kembali menelusuri jalur pendakian. Seperti sejak di awalnya, jalur menuju puncak terlihat semakin terjal dan curam, berliku, dan menanjak turun. Langit di atas Burangrang tertutup mendung yang bergelayut. Udara dingin cepat sekali menguasai. Lapisan kabut yang bergulung membuat nafas tersengal-sengal, kami sampai harus beberapa kali berhenti untuk menguasai keadaan.



Sampai di titik tinggi 2002 mdpl keindahan alam semakin memukau. Tengkukku sampai merinding melihat jurang-jurang yang tak dapat diukur berapa meter kedalamannya. Kalau saja ada yang terjatuh sudah tentu akan sulit sekali ditolong dan ditemukan. Dihadapan kami pula sebuah tebing tinggi indah menjulang, mengalahkan keangkuhan siapapun yang memandang. Tangan-tangan angin selama ribuan tahun lah yang mengukirnya, cadas dan terjal. Hati berseru, Allah Maha Besar !!!
Puas dengan keindahan tebing nan terjal dan jurang-jurang yang sangat dalam, pendakian menuju puncak Burangrang pun dilanjutkan. Jalur yang dilalui semakin extreme dan menegangkan.

Adrenaline ku memuncak saat kami tiba disebuah jalur menanjak dengan bebatuan cadas bercampur debu sebagai pijakan. Tak ada apa-apa di kiri dan kanan selain jurang dan jurang. Licin sekali disini. Sangat disarankan untuk tetap tenang-tenang memilih pijakan. Sebuah prasasti sebagai nisan peringatan dari seorang pendaki yang tewas menghias pinggiran jalur pendakian, “In Memoriam..” mengingatkan setiap pendaki untuk tetap mawas diri dan hati-hati menghadapi Burangrang nan garang.

Lepas dari tanjakan berkontur batu nan extreme tadi, puncak Burangrang tegaklah dihadapan. Hanya tinggal beberapa meter saja sampailah diri menyentuh sebuah tugu sebagai titik puncak 2064 mdpl nya. Sejuta syukur dipersembahkan kepada Sang Pencipta telah merestui kami menikmati keindahan alam di atas puncaknya.





BURANGRANG.., Garang….
BURANGRANG.., Aku Datang…..!!!

Teks dan photo by Firmanto Hanggoro

Kamis, 31 Desember 2015

Pesona Dieng dalam Episode Kejar Tayang



Setiap perjalanan selalu menyimpan kisahnya sendiri sendiri. Begitu pula perjalanan menutup hari libur lebaran 2015 yang lalu. Late post banget, kan saya! Daripada tidak sama sekali. Baiklah:)
Dari Jember, tanggal 21 Juli sekitar pukul setengah satu siang, menggunakan bus sendirian, saya sampai di Semarang sekitar pukul setengah 2 dini hari yang sudah masuk tanggal 22 Juli. Lupa lagi kalau di mess tempat saya tinggal yang juga kontrakan bersama teman teman kantor di luar Semarang, masih sepi dan nggak ada yang buka pintu. Walah! Akhirnya saya memanjat pagar besi yang ukurannya sedang sambil tengok kanan kiri. Duh,alhamdulillah misi sukses. (tepokjidat!)

Tidur sebentar, pukul 8 pagi saya sudah siap siap untuk berangkat mempersiapkan perjalanan ke dataran tinggi Dieng, terletak diantara dua wilayah kota Wonosobo dan Banjarnegara, Jawa Tengah. Harusnya sih berangkat bareng dengan 15 teman yang lain, tapi berhubung saya yang udah pernah ke Dieng, meski ini kedua kalinya, jadi was was kalau kalau nggak bisa kebagian tempat menginap, entah tenda ataupun homestay. Maklum, libur masih berlangsung kan..

Bersama dua orang teman yang saya ajak, bus menuju terminal Wonosobo yang seharga 40 ribu per orang itu berjalan lambat, bahkan sempat tersendat-sendat saat jalan menanjak. Akhirnya sekitar jam setengah 3 sore saya dan dua kawan sampai. Harusnya menggunakan bus kota Dieng Express yang cuma 25 ribu per orang, tapi dari jam 12 siang, ternyata cuma baru kami bertiga penumpangnya. Sedangkan kursi berjumlah 20 orang. Sampai nego berlangsung pun, kalau harus membayar 350 ribu untuk bertiga, tetap kemahalan. Alhamdulillah, kami menemukan alternatif lain. TAXI. Dengan argo, kami sampai dengan selamat di kompleks wisata Dieng Plateu dengan nominal 180 ribu. Lumayan banget dah..

Saya langsung mencari informasi. Ternyata persewaan tenda sudah habis. Tinggal pilihan homestay. Dengan informasi dari mas pemilik Dieng Pass semacam hotel yang letaknya paling depan di kompleks itu sepenglihatan saya, kami mendapat harga yang murah untuk ukuran ber-16 orang dan menguasai satu rumah. 800 ribu untuk tiga kamar, lengkap dengan ruang tamu, ruang keluarga, dan dapur yang berisi beras, mie, gula, kopi, dan juga segalon air putih. Legaaaa.. Artinya rombongan kami aman.

Malam sekitar pukul 8, kami menunggu rombongan sambil menikmati semangkok mie ongklok. Makanan khas Dieng yang semacam mie instan atau mie kuning dengan bumbu khusus. Rasanya susah digambarkan, lebih baik langsung datang buat mencoba. Meski untuk mencobanya pun, kita perlu referensi mie ongklok di warung mana yang paling enak. Karena tentu saja, banyaknya warung disini membuat kita harus selektif. Harga juga rasa. Ya sekitar 10 ribu sampai 30 ribu sekali makan kira kira. Lengkap dengan segelas minuman hangat atau yang lain.

Setelah 14 orang lain yang menumpangi dua mobil rent car dari Semarang tiba, dan acara makan makan selesai, kami pun menggelar family day semacam ajang curhat saling mengenal antar satu dengan yang lain. Hoammm. Yang penting, jam 02.30 semua harus bangun buat memulai petualangan ya, pesan saya yang sudah dengan susah payah sampai duluan dan membuat jadwal episode kejar tayang ala sinetron FTV buat mereka semua.

Waiting for The Golden Sunrise Sikunir

Tepat jam 03.00 kami semua siap. Ditemani dengan sang guide yang juga pemilik homestay nya. Normalnya sih jasa guide sekitar 50 ribu tapi dua tahun lalu, baik mengawal individu maupun kelompok. Tapi kali ini saya mematok fee 100 ribu buat si bapak meski dianya meminta sukarela. Tujuan utama tentu sunrise Sikunir di Desa Sembungan.

Karena ini pengalaman kedua saya berkunjung ke Dieng, mau tak mau saya kembali memanggil memori lama saya. Apalagi kalau bukan membandingkan suasana dulu saat pertama datang, dan saat ini. Dulu, tulisan SIKUNIR yang gagah seolah menjadi pelambang masuk desa dan kerap digunakan berfoto itu, baru saja selesai dibuat dan masih kinclong. Kini terlihat catnya sudah beberapa memudar. Area parkir pun meluas, beda dengan dulu yang apa adanya. Sekarang, Sikunir memang tak terbantahkan telah menjadi tujuan utama untuk melihat sunrise bagi siapa saja yang berpelesir menikmati tempat wisata dataran tinggi Dieng, minus pilihan mendaki gunung ke puncak Prau pastinya.

Saya dan 15 orang lain pun terpencar-pencar dalam beberapa kelompok. Jalanan menuju puncaknya yang memang serupa bukit ini pun berganti suasana seperti sedang pembukaan pameran pada hari pertama, berjalan menyemut atau padat merayap. Jalanannya sudah banyak dilewati sehingga tak seasing dulu yang kanan kirinya tanpa pagar. Sesampai di puncak Sikunir pun, lautan manusia juga memenuhi beberapa sisinya. Sehingga kita pun harus mencari strategi untuk mendapat tempat terbaik menanti sunrise. Ya, akhirnya saya menemukan tempat.

Katanya, kemarin-kemarin matahari terbit yang menawarkan banyak keindahan dan kekaguman saat melihatnya sempat malu-malu muncul atau tidak muncul sama sekali karena cuaca yang tidak pasti. Tapi, alhamdulillah pagi ini, lain dari pagi yang kemarin. Mula-mula samar, kemudian berwarna jingga oranye persis seperti warna eye shadow di atas mata yang menawan, membentuk garis indah. Dan berakhir sempurna, bulat dan kuning terang. Semuanya sibuk memainkan kamera, mengucap syukur, menghitung mundur, dan aneka respon lain.  

 

Semua wajib turun jam 6 yah, begitu pesan saya ke mereka semua. Menuruni Sikunir, banyak terdapat warung yang bisa dijadikan tempat bersantai sejenak barang menghela nafas dan menghangatkan badan dengan segelas kopi atau teh hangat. Terlihat Danau Cebong bagai sekumpulan air dalam wadah plastik yang sengaja diturunkan ke bumi. Siluet matahari pun makin menambah menariknya obyek tersebut. Biasanya juga ada yang berkemah di tepiannya.


Sembari menunggu yang lain, saya juga memperhatikan kegiatan orang lain, terutama warga sekitar yang saya rasa merasa berkelimpahan berkah dengan banyaknya orang yang datang. Itu terlihat dari semangat yang muncul di wajah-wajah yang selalu tersenyum menyambut kami, para turis domestik, dan beberapa turis internasional. Baik itu penjaja warung, tukang parkir, penjual pelengkap penghangat tubuh, guide, sampai pemuda-pemuda desa yang terlihat menyuguhkan hiburan musik ala pengamen jalanan dengan apa adanya atau beberapa kostum unik. O iya, karena dataran tinggi Dieng ini juga kaya hasil pertanian, banyak juga sayur mayur yang dijual di jajaran warung tadi. Mulai dari kentang unyil karena bentuknya yang kecil, terung Belanda, dan lainnya. Cocok buat oleh-oleh:)



Berpelesir di Tujuan Lain 

Tak lama saya kembali ingat jadwal kejar tayang yang sudah saya buat. Ngapain keburu-buru, sih? Ini berhubungan dengan biaya rent car yang membengkak bila kami serombongan tak sampai Semarang tepat waktu malam nanti. Bisa gawat!

Setelah menelpon beberapa orang, menyambungkan dari mulut ke mulut tentang rombongan yang belum kembali ke mobil, kami langsung tancap gas menuju tujuan berikutnya. Harus selesai sebelum jam 12 siang, duh! Sebenarnya ada Dieng Plateu semacam gedung teater yang menyuguhkan sejarah tentang Dieng, tapi karena keterbatasan waktu, kami memutuskan tak mampir kesana. Dua tahun lalu saya juga belum mampir, hm sial memang.

Kami memilih agak sedikit berjalan menanjak menuju bukit ratapan angin, persis di belakang Dieng Plateu dan melewati ladang pertanian warga. Saya asli terkaget-kaget melihat tempat yang dua tahun lalu masih jadi spot tersembunyi. “Hanya beberapa orang aja mbak yang tau tempat ini. Biasanya fotografer yang ingin mengambil pemandangan Telaga Warna dari atas, baru kita pandu.”, itu kata-kata guide saya dulu yang masih saya ingat dengan jelas. Memang landscape Telaga Warna dan sebagian besar dataran tinggi Dieng tertangkap sempurna dari sini.


Tapi siapa yang menyangka kalau saat ini, tempat yang hanya mengandalkan satu atau dua pijakan kaki untuk berfoto di atas bongkahan batu tebing ini, dengan tanpa pengamanan secukupnya apalagi ketat, mendadak dikarciskan dan juga menjadi jujugan wisata. Alamakjang! Saya berkali-kali mengelus dada. Tak menyangka kalau hanya dalam jangka waktu dua tahun saja, arus perubahan begitu terasa. Kami membayar 10 ribu per orang dan diijinkan begitu saja masuk. Antri ya, hanya itu pesannya. Sesampai disana, tak ada petugas apapun. Ada semacam saung beratap untuk menunggu, dan kemudian sekenanya, orang antri diantara bongkahan batu. Haduh, saya yang terpaksa jadi pasukan pengaman dadakan. Memegang tangan beberapa anak kecil yang bergantian berfoto dengan orang tuanya. Menurut saya, ini sih nekat. Tak seimbang atau terpeleset sedikit, langsung terjun bebas, deh. Untungnya, hari itu, hanya sepatu anak kecil yang terjun bebas. Hmmmmm…



Selanjutnya, tujuan kami langsung ke arah kawah Sikidang, hanya sebagian kecil dari berbagai kawah yang ada di dataran tinggi Dieng. Setelah parkir, saya dan beberapa kawan yang masih semangat berjalan, sedang yang lain malah berleha-leha di mobil dengan alasan capek (huft!), langsung disambut hawa belerang yang menyengat. Terutama ketika makin lama makin dekat dengan kawah. Bila angin berhembus, hawa belerang makin kuat menusuk. Makanya banyak yang menawarkan masker di spot tersebut.

Baca selengkapnya disini

Posted by Prita HW

Rabu, 30 Desember 2015

Falling in Love Setelah Menengok Kandang Sapi

 
Hawa sejuk langsung menyambut saya dan rekan-rekan kantor yang berniat untuk refreshing. Tinggal di kota metropolitan kedua setelah Jakarta memang lumayan membuat kepala penat. Beban pekerjaan yang menuntut kesempurnaan ditambah dengan deru mobil dan motor yang menyebabkan polusi dimana-mana. Surabaya oh Surabaya, kota kenangan tak kan terlupa… Kenangan kayak apa yah yang dimaksud lagu itu ? Hehehe…

Berbeda sekali dengan disini. Kota apel atau bisa juga disebut puncaknya Jawa Timur. Kalau Bogor punya Cipanas yang dijadikan tujuan berlibur. Kalau di Jawa Timur punya Batu yang juga jadi tujuan recharge warga kota sebelah. Kami berangkat bertujuh naik mobil pinjaman. Gelak tawa juga guyonan lepas mewarnai perjalanan kami. Maklum, kalau di kantor, untuk sekedar ngobrol pada jam kantor, kami harus rela ber-YM ria. Hmmh…

Songgoriti adalah tujuan pertama kami. Bukan untuk mandi air panas yang biasa dilakukan orang-orang jika berkunjung ke sini. Tapi, kami merindukan villa ! Untuk istirahat pastinya. Setelah melewati jalan menanjak dengan kemiringan 90 derajat (bener nggak yah ?), akhirnya kami sampai juga. Cukup luas. Satu ruangan besar termasuk ruang tamu, ruang makan, dapur, dan ruang santai untuk berkaraoke. Sedangkan kamar tidur semuanya di lantai atas. Pas dua. Satu untuk cowok dan satu untuk cewek.

Waktunya makan ! “Makan di tempatku aja om, deket kos ku dulu,” rayu rekan saya yang paling muda diantara kami. “Ok,” jawab suami seorang rekan yang juga bertugas sebagai sopir. Duh, udah menahan lapar sejak tadi, nggak tahunya tempat makan yang dimaksud ada di kota Malang, keluar dari kota Batu. Tapi, syukur deh malam itu kami berhasil menyantap ayam goreng lalapan yang murah meriah.

Malam itu kami semua saling menumpahkan uneg-uneg selama 2 bulan bekerja bersama di awal 2009. Kepala departemen, staf, tumplek blek ! Kami saling menguatkan hati untuk menghadapi tekanan yang datang bertubi-tubi, khususnya dari sang direktur yang makin hari makin sensitif. Ups !

Paginya, it’s time to the game ! Kami memang kepengen model refreshing yang juga berwawasan. Artinya, sekalian liburan, sekalian nambah ilmu dan kekompakan lah…

Setelah acara masak memasak, jangan lupakan sesi foto-foto narsis ! Hahaha… tetep ! Dengan arahan suami rekan saya tadi (satu-satunya pasangan rekan yang ikut dan bersedia jadi pembantu umum, haha…), kami pun berfoto gila demi menyalurkan hasrat want to be celebrity. Ada foto bersusun ala kaki seribu, ada foto sok nggak butuh kamera dengan memandang langit, ada juga foto ala keluarga tahun ’80-an yang posenya diam culun seribu bahasa. Ya ampuuuunnnn, nggak betah banget nahan tawa. Huahahaha…

Saking lelahnya berfoto ria, kami pun memutuskan main game dengan aura relaksasi. “Pejamkan mata. Rasakan nuansa alam di sekitar kita. Suara burung, desiran angin, bisikan dedaunan pohon. Rasakan jiwa kita menyatu dengan alam. Kumpulkan energi positif dalam diri…”, saya berkata seolah-olah udah jadi trainer top aja, padahal itu ilmu nyontek dari masa-masa ikut MLM dulu.

Ceritanya, saya lagi mengajak rekan-rekan untuk merasakan energi positif dan mengumpulkan kekuatan untuk mengalahkan kelemahan diri sendiri. Gampangnya, say that “I can !”. Tadinya sih mau mengalahkan segala kelemahan dengan analogi memukul tutup botol softdrink tepat dengan telapak tangan bagian tengah, dan tangan yang satu lagi memegang botol erat-erat. Kalau kita mampu menghimpun energi itu, botol itu bisa pecah. Itu teorinya. Prakteknya, nggak ada satu botol pun yang pecah ! Apa ada teori lain yah ? Ah, tau ah ! Yang penting, kami dapat hikmahnya bareng. Haha…

Selanjutnya, games tantangan berpasangan melewati ranjau-ranjau darurat dari kertas koran dengan mata tertutup. Maksudnya, untuk melatih komunikasi. Hanya dengarkan arahan dari pasangan. Itu saja. Terakhir, kami berlatih kepemimpinan. Masing-masing naik kursi bergantian. Dan yang lainnya, mengikuti gerakan sang pemimpin. Lucuuu banget ! Ketahuan deh gokilnya masing-masing. Ada yang gayanya cool abis karena mati gaya, tapi ada juga yang bergaya keramas bak model. Dari situ, kami juga bisa belajar karakter masing-masing.

“Sekarang, waktunya ngelihat yang beda”. Itu clue dari saya. Puas menikmati pemandangan alam di sekitar villa Songgoriti, kami meluncur menuju sebuah desa yang umumnya banyak dikunjungi pendaki, masih di kota Batu. Desa Pesanggrahan memang jadi jalan utama untuk mendaki Gunung Panderman.

Tapi, tujuan kami kali ini bukan untuk mendaki curamnya gundukan tanah eksotis itu. Saya yang memang sering wara wiri ke desa ini berniat mengajak rekan-rekan saya yang biasa jalan ke mall supaya dapat pengalaman baru.

Tulisan ‘Selamat Datang ke Wana Wisata Panderman’ terlihat jelas saat memasuki pintu gerbang Desa Pesanggrahan ini. Melihat proses pembuatan biogas sebagai bahan bakar alternatif adalah pengalaman yang ingin saya tawarkan. Melewati perkampungan Desa Pesanggrahan, kami terus naik menuju dusun yang berada tepat di lereng Panderman.

Jalan aspal yang sangat menanjak dengan pemandangan kota Batu di kanan kirinya membuat mata terasa segar. Apalagi ditambah hijaunya ladang-ladang warga yang ikut memanjakan mata. Selain itu, ada juga jalan yang bisa dilalui dengan berjalan kaki di pagi hari, labih menantang karena menyusuri hutan.

Nama dusun itu Dusun Toyomerto. Merupakan satu dusun dalam kawasan Desa Pesanggrahan yang mayoritas warganya bekerja sebagai petani dan peternak. Istimewanya, dusun ini disebut-sebut sebagai dusun biogas pertama di negeri kita ini.

Bayangkan, tidak hanya satu atau dua keluarga saja loh ! 150 keluarga disini sudah memakai kotoran sapi untuk menghidupi kepulan asap dapurnya. Kok bisa yah ?

Ini juga yang membuat rekan-rekan saya bertanya-tanya. Mereka yang biasanya rapi jali kemana-mana, saya ajak untuk menengok kandang sapi milik Pak Zakaria, salah satu peternak yang saya kenal. Baunya, nggak usah ditanya ! Merebak, hahaha…

Dengan telatennya, Pak Jack (sapaan gaulnya Pak Zakaria), menunjukkan kotoran sapi yang bercampur dengan air seni sapi diaduk-aduk dalam sebuah bak semen. Bak itu memiliki saluran yang posisinya lebih rendah. Untuk melihat bak kedua ini, kami melewati kebun labu siam atau gondes-sebutan warga disana-. Seru juga…

Rekan-rekan saya dari tadi menganga dan terus penasaran. Di bak kedua ini, kotoran sapi tadi sudah berubah bentuk jadi gas. Baknya besar dan ditutup dengan plastik tebal mirip terpal. Untuk sisa gas yang tidak mengalir ke dapur lewat sebuah selang, langsung terbuang menjadi kotoran sapi yang tidak bergas. Nah, kotoran itu langsung mengaliri ladang Pak Jack. Organik asli ! Bisa juga, setelah dikeringkan, dijual lagi jadi pupuk kandang dalam kemasan.

Ck..ck..ck.. Udah untungnya 100 % karena nggak perlu beli gas elpiji, bonusnya masih ada aja. Bisa dijual dan bikin tanaman sendiri subur pula.

Terakhir, kami mampir ke dapur, dan langsung mencoba-coba ngidupin kompor gas nya. Caranya, cukup puter kran pengalirnya di dinding dekat kompor, dan sulut tungku kompor pakai korek api. Jres, biru bo ! Gila, keajaiban memang selalu datang untuk orang-orang kreatif.

Tau nggak apa komentar rekan saya yang hobi ngemall itu ?
“Wah, ada juga yah dunia kayak gini. Ternyata hidup nggak melulu shopping dan gaul di mall, beli baju dan sepatu.”. Ditambah celetukan yang polos banget, “Wah, abis ini, aku mau beli sapi.” Hihihi… lucu banget kesimpulannya.

Sore menjelang kembali ke Surabaya tercinta, saya senang sekali bisa mengantarkan rekan-rekan saya itu pada suatu pengalaman baru. Makin bersyukur, saat kami menemukan sebuah bale-bale yang disulap menjadi surau kecil.

Keindahan lereng Panderman dan keajaiban kotoran sapi ditutup dengan shalat berjamaah di Bale Nur Alam. Bahkan, rekan saya yang tak pernah shalat di kantor pun, ikut melengkapi keindahan sore itu dengan ikut berjamaah. Ia pun mambasuh tubuhnya dengan jernihnya air wudlu yang berasal dari sumber pegunungan. Subhanallah…

Dua hari setelah falling in love bertujuh di kota Apel, kami semua di-PHK massal dengan tuduhan bos yang tidak berdasar, mencuri handphonenya! Oh my god… Hikmahnya, kami yakin bakal ditempatkan di tempat kerja yang jauh lebih baik. Meski sekarang tidak lagi sekantor, kami terus menjalin hubungan pertemanan yang akrab hingga kini. We are falling in love at Batu! ('thil)

Sby, 15 Maret 2010
 
Posted by Prita Hw
 
Baca juga disini  

Bromo,I'm in Love!

Catatan Perjalanan Bromo Mountain,Probolinggo
Jumat-Sabtu, 24-25 Agutus 2012

Kuhirup udara segar sore hari Cemoro Lawang. Welcomeback! Akhirnya,  untuk ketiga kalinya aku menjejakkan kaki di desa ini, kaki gunung   Bromo, Probolinggo. Jika perjalananku yang pertama dan kedua kulakukan   dengan lumayan rapi, sekitar 9 tahun yang lalu, kali ini sedikit   berbeda.

Tujuan  wisataku kali ini sebenarnya tercipta secara nggak sengaja, karena  saking kangennya dengan hawa gunung, bau pantai, wangi hutan… Ya,  semacam tempat-tempat yang jadi ceruk bukti kekuasaan Allah, Sang Maha  Kuasa. Gara-garanya, temen kantor bilang mau ke Gunung Bromo, aku dengan  semangat langsung bilang, hayukkk… Eh, nggak taunya yang dimaksud  dengan ‘Gunung Bromo’ saat itu adalah kiasan untuk rumah kontrakan yang  kami tinggali bersama, dan ia bermaksud menjaganya semasa liburan Idul  Fitri. Cape de…

Tapi, aku bersyukur,, dari  ketidak seriusan itulah keseriusan bermula. Berbekal pertanyaan, hayo  siapa mau ikut ke Bromo? Terjaringlah hanya empat orang yang bener-bener  punya kecintaan yang sama pada petualangan. Kami merindukan travelling yang  berbeda. Kami berempat teman sekantor, ada aku, Amel si tomboy yang  manis, Hadi si calon ustad yang GJ alias ga jelas, hehehe, dan Santos,  si batman (karena berkacamata)  yang dijuluki Mr.rempong… Eh, lupa. Kalo julukanku, hm.. mereka hanya  sering memanggilku emak, karena paling tua diantara mereka. Walah,  mendadak sensitif nih :D Dan, rombongan kami juga ketambahan tiga orang cameo, hehe,  ada Rifqi atau Keceng yang adik kandungnya Hadi, si Musa alias Ndut  yang kebagian jatah nemenin Keceng, dan ehm, Sulis si pujaan hatinya  Santos. Kami bertujuh.

Unity in Diversity

Gado gado adalah kata yang tepat saat sedikit menengok perjalanan kami. Kami yang memang janjian by sms ataupun saling tweet di  sela-sela liburan Idul Fitri asli merasa kesulitan. Utamanya aku!   Kenapa? Karena harus komunikasi satu persatu, nggak sekalian kayak rapat  aja, hehe.. Alhasil, miskom pun terjadi.

Aku  yang mendadak harus ikutan foto kelengkapan data E-KTP (asikkk..jadi  warga legal juga akhirnya:p) Jumat pagi, 24 Agustus dengan terpaksa   mengabarkan ke mereka bertiga kalo aku bakalan nyusul mereka yang   berangkat dari Surabaya dengan motor.

Tapi, misal jam berangkat nggak   jauh beda, aku prefer ketemuan  semua di Probolinggo. Tapi, dengan asumsi, si Keceng nggak bawa temen,  sehingga bisa kuboncengin. Eehhh… Pukul 13.30 dengan menumpangi bus dari  Jember, aku tiba dengan selamat di terminal Probolinggo. Saking PW (posisi wenak) nya aku dengan setiap terminal yang aku singgahi, aku pun  santai makan lontong ala nasi KFC/McD sambil sesekali menyendok opor  ayam di plastik, menu makan siang yang disiapkan eyang:D Lima menit,  sepuluh menit, dua puluh menit, setengah jam, lama kutunggui balasan sms dari ketiga makhluk temanku tadi. Tak ada jawaban, sampai sms masuk  berbunyi : “Kita udah di atas mak, ketemu di Bromo…” Whatz? Padahal  tadi pagi, si Amel bilang kalo ketemu di pintu masuk. Ok, pintu masuk  terminal, pikirku. Ternyata yang dia maksud dan baru kutahu belakangan  adalah pintu masuk Bromo. Ups!

Rasa sebal sempat menjalari aku saat itu. Ya ampun, susahnya komunikasi. Kukumpulkan pikiran positif, aku bertekad show must go on! Ok, ketemu di Bromo.

Ingatan  9 tahun lalu ternyata tak cukup membantuku, dulu harus naik angkutan   macam apa saat menuju Cemoro Lawang. Kutanya orang yang sekaligus   menawariku menggunakan jasa ojeknya, “Cukup 100rb sampai di tempat mbak.  Kalo ga, 75rb aja..”. Kutanya petugas terminal, “Di ujung jalan itu,   tikungan pas, angkutan biru mbak, tapi ya harus nunggu 20 orang penuh,   25rb, sampai sore bisa bisa mbak…” Baiklah. Kulangkahkan kaki menuju   angkot biru, dan sudah ada 9 orang termasuk aku yang siap menuju Cemoro Lawang, 6 diantaranya bule. How lucky I am! Meski  Cuma 9 orang, tiba tiba banyak penduduk desa di sekitarnya, seperti  Sukapura, Ngadisari yang kebetulan mau pulang. Penuh! Padahal mereka  yang di dalam angkot itu harus menunggu 3 jam an untuk bisa berangkat.

Lama  lama kesendirianku menuju Cemoro Lawang yang kira-kira berjarak kurang  lebih 1,5 jam an, mencair juga. Aku duduk berdesakan di jok belakang   dengan sepasang kekasih asal Jepang dan seorang cowok bule asal Jerman. Kami berempat duduk tanpa batas. Hahaha, serasa ikut international conference pas duduk berdempetan itu, saking aja nggak ada yang mau dimintai tolong foto, selain malu :D

Sesekali  aku ngobrol dengan sepasang kekasih Jepang di sebelah kiriku, yang   setiap berapa menit sekali tergantung sekali dengan teknologi yang   mereka punya. Google map tak henti-hentinya mewarnai perjalanan mereka lewat layar Samsung android-nya.  Mereka lebih memilih mengajakku ngobrol dengan Bahasa Indonesia dengan  ekspresi yang lucu. Menoleh ke sisi kanan, aku pun ngobrol dengan cowok  bule asal Jerman, yang ternyata melakukan perjalanannya seorang diri. Hm, I’m not alone! Aku  jadi merasa betapa beragam manusia diciptakan. Meski bahasa berbeda,  tapi ketika kita punya tujuan sama, terjadilah… Ternyata ada untungnya  aku berangkat sendiri menuju kaki Gunung Bromo, untuk merasakan  pengalaman ini…

Night at Cemoro Lawang

Turun  dari angkot, aku masih menunggu jemputan, siapa lagi kalo bukan salah satu dari teman-temanku. Mereka cerdas juga. Dapet penginapan yang   lumayan murah dan worth it buat  jadi rekomendasi berikutnya. Sempat minta persetujuan pula lewat sms,  300rb semalem, dibagi 7 orang… Lumayan.. Eh, terakhir malah dapet  diskon, jadi cuma 250rb untuk dua ruangan. Satu tempat tidur di ruang  tamu lengkap dengan sofa, satu lagi kamar tertutup untuk cewek.  Asikkk..gitu tadinya sebelum berangkat, udah mau tidur di musholla aja  kalo mahal. Hahaha… Ternyata mereka pake password, mahasiswa dengan kantong cekak. Alhasil, si bapak pun luluh teringat anaknya. Bagusss…:D

Pertama kali dateng, aku langsung protes miskom ini itu yang terjadi selama proses planning.. Yah, biar clear dan  seru untuk jadi bahan perjalanan berikutnya. “Sudah cukup mak…,”   kata-kata yang sering kami lontarkan sambil meletakkan jari telunjuk di depan bibir yang lagi berbicara, dan akhirnya sukses menghentikanku.   Wkwkwkwk, our way to have a joke^^

Sebelum   petang menjelang, mumpung hawa dingin belum menjadi duinginnnnn, kami   poto-poto narsis depan penginapan supaya bisa eksis di sosmed. Ya   ampunn, gejala manusia masa kini^^ Ya, kami melakukan apapun untuk bikin  suasana hepiii, temu kangen setelah libur lebaran…
Sesuai  dugaan, malam yang duinginn datang, dan tak ada satupun dari kami yang  bergerak untuk mandi, memanfaatkan air… Malam itu, kami larut dengan   guyonan GJ sambil makan nasgor yang lumayan ajib untuk harga 7500-10rb, niat online yang gagal karena jaringan modem nggak ada dan diganti dengan nonton film, sampai go to sleeping beauty untuk persiapan mendaki gunung turun di lembah, hehehe…
 

 Bromo, We are Go to The Top!

Suara mesin dan klakson mobil hartop – sejenis jeep juga  motor yang lewat di depan penginapan kami yang memang di pinggir jalan  utama, mau tak mau membuat kami bergeming untuk menengok angka jarum jam  ada di angka berapa. Pukul 3 dini hari. Oahaemm..Ngantuk dan dingin  yang menyengat. Kami saling membangunkan dan bermodal sikat gigi serta  cuci muka, kami pun berangkat menuju track berikutnya, lautan pasir yang sempat dijadikan venue syuting film Pasir Berbisiknya si Dian Sastro.

Tanpa  bekal senter, kami turun perlahan menghitung langkah demi langkah jalan  aspal yang tersisa. Kami mengandalkan sinar mobil yang lewat. Tiba  tiba, gedubrakk… Si Ndut jatuh.. Walah Ndut, naek gunung pake sandal  buat jalan jalan di mall, licin lah… Saran sementara, “Ati ati ya Ndut…”  :D Sementara yang lain, celetukan terdengar, “Masih jauh yah?”,  “Dinginnn banget…”. Aku pun menimpali, berkata-kata hanya yang positif,  keragu-raguan maupun keluhan itu cukup disimpan dalam hati. Kita harus  menerima apapun jadi bagian dari perjalanan di gunung. Sok bijak yah, but it’s true. Belajar dari my partner saat menaklukkan Semeru^^

Pukul  4 dini hari kami sudah ada di lautan pasir yang tak bertepi, dan belum  bisa terlihat seperti apa hamparan pasir seutuhnya menyelimuti kami.   Yang kami tahu, mentari di ufuk timur malu malu tapi mau mulai   menampakkan rona kemerahan berbalut orange dengan sentuhan warna biru di tepinya, persis seperti pulasan eye shadow nan cantik di mata seorang model. Eksotis. Namun, kami memang sengaja tak mengejar sunrise secara khusus karena Puncak Penanjakan yang biasanya dilalui jalur motor ataupun hartop, pastilah sangat crowded. Kami  mencoba memaknainya. Cieee… Si Hadi pun shalat di atas sajadah pasir, sejuk ngeliatnya… Jadi inget, manusia berasal dari tanah dan akan   kembali ke tanah. Sebenarnya nilai hakiki manusia adalah sama dengan   bumi… We’re nothing.

Menuju puncak pastilah nggak semulus yang dibayangkan. Persis seperti tagline motivasi yang selalu kami dengar di kantor. Ya, kami memang bekerja di bidang marketing yang khusus menangani advertising. Dengan  kesempatan jenjang karir yang dimilki, kami percaya semua yang nggak   mungkin menjadi mungkin dengan meyakini dan melewati tantangannya. Ya   agak berbeda dengan yang biasa disebut ‘karyawan kantoran’. Kami adalah partner perusahaan yang juga punya kesempatan sama untuk have our own business. 

Tantangan  pertama pun dimulai. Orang lalu lalang dengan beberapa ekor kuda maupun  berjalan kaki. Otomatis, debu debu yang dihasilkan jejak kaki mereka  pun beterbangan ikut menyapa kami yang baru menuju pasir debu yang makin  lama makin naik. Meski sudah pakai masker, dada ini rasanya sesak.  Batuk batuk pun makin membuat dada ini mencoba mencari ruang longgar.  Aku pun merasakan hal sama seperti dulu pertama kesini. Namun musim kali  ini lebih bersahabat. Tak ada angin yang mmembawa aroma belerang yang  amat sangat dan membuat mata pedih seperti dulu. Beberapa dari kami  terlena dengan istirahat, duduk, berfoto, dan menumpang api unggun  dadakan yang dibuat rombongan lain. Hm, nggak bagus kalo nggak cepet  jalan lagi nih… Aku pun mengajak yang lain, “Lanjuttt…”

Selanjutnya,  kami harus melewati tangga menuju puncak yang saat ini pegangan   tangannya sudah mulai rusak. Dulu, aku pernah menghitungnya, 250 tangga,  entahlah… Hadi, Santos, dan yang lain sudah lebih dulu. Sementara aku berhenti di tengah dengan terengah-engah seakan dehidrasi, tapi si   pembawa air minum sudah ada di atas. Hmm..Aku pun menghela nafas sambil menunggu Amel yang masih di bawah. Kami pun lanjut lagi, 5 menit kami   pun sudah berada di puncak, yang punya jalan sempit dan bagian   pinggirnya dipagari sebagai bagian dari pembatas kawah yang berisi   belerang aktif. Alhamdulillah… akhirnya…


 “Perjalanan  kita dalam mencapai sukses di pekerjaan yang kita jalani sama dengan   saat aku berhenti di tengah tadi. Saat kita menoleh ke belakang, betapa jauh langkah yang sudah kita lewati. Masa sih kita nggak sampai ke   puncak? Sementara orang orang lain kita lihat bisa. Aku juga tadi   berpikir, orang di puncak gunung tadi kelihatan seperti semut yang   berjejer-jejer mengerubuti gula. Tapi, saat kita hampir sampai,   orang-orang tadi pun makin terlihat dekat…”, aku berkomentar. Kami semua  pun manggut-manggut, tanda setuju.

Setelah  sampai di puncak, ketika kami turun, segala beban lepas… Kami puas, kami  telah melewati tantangannya. Saatnya bersenang-senang lagi.. Cari angle yang  pas buat foto-foto. Sejenak kami menikmati kopi hangat di warung yang kuketahui pemiliknya bernama Bu Min asal Ngadisari, sepuluh tahun sudah  ia berjualan disini. Aku dan yang lain mencari hal gila apa yang bisa kami lakukan. Amel menyapa bule dan bicara sepatah dua patah kata, “photo together,,” Cekrik. “once again…” hahaha… Aha! Aku punya ide untuk voice power alias aktivitas melatih kekuatan suara perut yang biasa kami lakukan di kantor. “Hu ha hi, high hand head, how wow hai…” Sepuluh kali aku dan Amel ber-upper-middle-lower tone ria.  Yang lain, termasuk si rempong Santos, dan si GJ Hadi, malu malu sambil  geli melihat kami. Sukses sudah aku dan Amel mencuri perhatian   pengunjung lain. Hahahaha, kena deh! Sebagai pemanis, foto dulu sama ibu  penjual kopi dan bapak penjual edelweiss yang berasal dari Lumajang.   Cekrik. Tengkyu pak, bu, sukses yah!


Perjalanan  kami menyusuri padang pasir untuk kembali pulang tak kami lewatkan  begitu saja. Kami begitu semangat ingin menuliskan kalimat : MANAGER  2012 di atas pasir. Ini harapan kami bersama. Pulang dari Bromo, we’ll make it happen to be owner… Kami menuliskannya di jalur lewatnya hartop karena  pasirnya lurus, jadilah kami was-was tulisannya bakal terlindas ban   mobil. Tak ketinggalan, kami berpose di depan Pura Luhur Poten Bromo   yang menjadi tempat ibadah masyarakat Tengger yang mayoritas beragama   Hindu.



Pulang  ke penginapan, separuh dari kami menyewa jasa ojek yang cuma 10rb.  Sisanya jalan kaki. Aku termasuk yang naik ojek, seru juga meliuk liuk  pake kuda besi di atas pasir. Kayak mau jatuh aja… Tapi jadinya nggak…  Udah biasa katanya…

Miss You Bromo!

Kali  ini, siapa yang nggak berani mandi meski air masih tetap sama   dinginnya? Semua dari kami mandi. Cuma Hadi dan Amel yang tak kebagian   waktu mandi karena bakal ada penginap berikutnya yang akan segera tiba. Hiii..nggak mandi :D

Perut yang keroncongan  terus memanggil-manggil kami untuk segera mengisinya dengan makanan yang   hangat-hangat. Soto ayam! Tapi, nyatanya yang ada soto daging. Nggak   masalah…Yang penting perut terisi dan sebelum meninggalkan Bromo, kita   masih sibuk merekam kenangan manis yang sudah kami lalui dari kemarin.   Saat kutanya, ungkapkan satu kata yang paling mewakili perasaan kalian   dari kemaren sampai detik ini? Satu-satu menjawab :

Amel tomboy (rekor ke Bromo : 1st times), “istimewa…”,
Hadi GJ (3rd times), “fantastis…”,
Santos Rempong (4th times), “senengggggg…”
Mak Prita (3rd times), “gado gado…” asem, manis, asam, terus manissssssss terussss…
Rifqy Keceng (1st times), “seruuuu…”
Sulis si Pujaan Hati (1st times), “capeeee…” hahaha…tapi seneng katanya…
Musa Ndut ((1st times), “heboohhh…”
Asikkk..Siap siap ke tujuan selanjutnya, air terjun Madakaripura, yang kata si promoter, Santos rempong, buagussssss banget… Ok, we’ll see…(‘thil)
 
Posted by : Prita HW
 
Baca juga disini