Minggu, 31 Januari 2016

Pendakian Burangrang #ekspedisicariair

Semilir lembah nan sejuk menyambut kedatangan kami di Desa Bukit Pintu Angin. Hari belum terlalu siang, namun sengatan matahari terasa sekali membakari kulit. Camcorder di tanganku mulai merekam suasana. Gunung Burangrang, 2064 mdpl, dengan empat puncaknya yang terjal dan curam menantang setiap pendaki untuk datang.

Desa Bukit Pintu Angin 1480 mdpl) merupakan gerbang masuk jalur pendakian menuju Gunung Burangrang dan Gunung Tangkuban Parahu dari arah Cimahi, Bandung, Jawa Barat. Kesejukan semilir lembah, rerumputan nan hijau dan barisan pepohonan pinus yang indah menjulang membuat langkah-langkah kaki kami (aku, Ican, Mellon, Tika, Nia dan Miftsex) tak rasakan lelahnya pendakian.

Sekitar satu jam telusuri jalur pendakian sampailah kami di titik tinggi pertama (1600 mdpl), selanjutnya Jalur yang dilalui mulai terasa sulit. Tanah merah berdebu, undakan-undakan yang cukup tinggi, akar-akar pohon hutan yang menjulur rambat serta bebatuan gunung yang menyembul dari permukaan tanah menjadi pijakan kaki-kaki kami jejaki jalur pendakian. Di tempat ini, atmosfer di sekitaran terasa semakin sejuk, baik sekali bagi kesegaran nafas para pendaki.

Di titik tinggi 1560 mdpl, Peta Rupa Bumi Digital Indonesia kawasan Bandung Utara dibentangkan. Tepat di hadapan kami terdapat dua jalur yang menghubungkan kedua gunung. Jalur kiri menuju Gunung Burangrang dan jalur kanan menuju Gunung Tangkuban Parahu. Kedua jalur tersebut sama-sama melipiri punggungan gunung. Bagi kami, Peta merupakan penunjuk arah utama setelah Kompas, apabila ada GPS itu tentu akan lebih baik.

Setelah beristirahat beberapa menit sambil menghirupi segarnya udara pegunungan, pendakian pun dilanjutkan. Melalui peta rupa bumi dapat dipelajari lapisan kontur tanah makin terlihat rapat, itu bisa diartikan jalur pendakian kian terjal dan menanjak sekitar sekitar 40 - 90 derajat yang membuat kami harus mendongakkan kepala untuk melihat jalur pendakian di depan.



Pendakian dilanjutkan. Air mineral sedikit demi sedikit telah hilang di tenggorokan. Membasahi kerongkongan kami yang mulai terasa mengering. Tapi puncak Burangrang masih sekitar 2,5 jam pendakian lagi. Jadi, tak ada pilihan lain bagi kami selain terus menjejakkan kaki dan tiba di puncak.

Pada titik ketinggian 1700 mdpl, udara kian terasa dingin dan perlahan berkabut. Hanya sesekali sinaran matahari masuk menembusi dedaunan hutan kemudian meredup kembali. berlapis kabut tebal-tipis lah yang menutupinya. Kicauan burung riuh terdengar, bermacam riuh suaranya. Lengkingan lutung pun terdengar melengking-lengking di kejauhan. Mungkin mengabarkan kepada kawanannya tentang keberadaan kami di sekitar teritori kehidupannya. Duhai alam.., liar lah kau..!!!
Dari sekitar tempat tinggi ini juga, kami, sang para pendaki disuguhkan lukisan pemandangan alam nan mengagumkan. Tempat yang bagus sekali untuk berfoto-foto atau sekedar melepaskan lelah yang mulai menjalari kaki. Barisan hutan pinus 200 meter dibawah kaki kami begitu indah di pandangan. Tak habis disitu, punggungan Gunung Tangkuban Parahu dengan lembahnya yang hijau lebat tersirami sinar matahari, begitu cantik memikat hati.





Naik lagi ke titik tinggi 1922 mdpl, persediaan air mulai menipis. Menurut Peta Digital ada sebuah mata air sekitar 100 meter di atas sana dan itu baru perkiraan saja menyadari musim sedang kemarau sehingga belum tentu bagi kami menemukannya. Meski begitu pendakian jalur terjal tetap ditaklukkan.

Sampai di sekitar titik tinggi 1980 mdpl, persediaan air semakin tipis. Hanya tinggal tersisa 2 liter air saja dan itu jelas tidak akan cukup walau untuk sekedar menjejak di puncak. Peta Digital kembali dibuka, diamat-amati dan coba dipahami. Menurut perkiraan memang ada sebuah sumber mata air tidak jauh dari tempat kami berdiri, berada di luar jalur pendakian, turun ke sisi tebing sebelah kiri dengan tatanan kontur tanah yang rapat sebanyak 5 tingkat. Itu bisa diartikan bagaikan menuruni bangunan 10 lantai dengan menggunakan tangga darurat !!!

Dua orang dari kami segera mencari sumber air. Ican dan Mellon yang dikirimkan. Sedangkan kami yang sisa berempat ini menunggu sambil melepaskan lelah yang mulai akrab di kaki. Suasananya Tenang sekali, dihibur cericau burung yang bermain-main di ranting. Diantaranya ada yang terlihat sedang memakan ulat, lucu sekali. Udaranya tetap dingin, walaupun matahari bersinar seterik-teriknya di langit.

Sekitar 1 jam Ican dan Mellon turun mencari air, mereka pun kembali. Kabar yang dibawanya, “Sumber airnya kering! ini pasti pengaruh musim, kita memang sedang di penghujung kemarau,” katanya. Peta Digital kembali dibuka. Perkiraan sumber mata air terdekat adalah setelah melewati puncak, dan itu sungguh tidak mungkin untuk dicapai. Pilihan lainnya adalah turun kembali ke titik 1630 mdpl, di sekitar sana juga diperkirakan ada sumber mata air yang diharapkan mengalir.
Kali ini aku dan Miftsex yang mencari. Keril isi maksimal 80 liter kukosongkan. Rencananya kami akan menganngkut air dengan menggunakan double trashbag. Paling tidak dengan menggunakan kantung itu sekitar 50 liter air dapat diangkut sekalian.

Udara semakin dingin, cahaya didalam hutan pun semakin meredup, padahal hari belum terlalu sore. Kabut bergulung yang merayapi barisan pepohonan hutan terasa mulai menyulitkan jarak pandang. Seperti jalur pendakiannya, jalur turun yang dilalui pun terlihat makin curam. Adrenaline meningkat, sedetik darah serasa berdesir saat harus melewati sebuah jalur dimana kami berada diantara kedua jurang. Di kiri dan kanan jurang, tak terhitung dasarnya yang terselimuti kabut. sangking takjub melihat kedalaman kedua jurang yang membelah jalur pendakian ini, aku memberikan nama khusus sebagai "Jalur Shirotol Mustaqim". Sesuatu yang membuat diri rasakan tenang menjejakkan kaki disana adalah ruas jalurnya yang landai, tak ada tanjakan ataupun turunan sehingga kami dapat melangkah-langkah dengan santai dan tenang. Ketenangan saat melintasi jalur ini amat sangat disarankan.

Sampai di titik yang ditentukan, Peta Digital di genggamanku kembali dibuka. Di sekitar tempat ini lah diperkirakan sumber mata air itu berada. Setelah menebas semak belukar di sekitaran terbukalah sebuah jalur berkontur batu yang tampaknya sudah lama tidak dilewati pendaki. "Mungkin ini adalah jalur menuju sumber mata air itu," gumamku. Kondisi jalur yang akan dilewatinya rusak yang bisa diartikan sebagai jalur yang sangat-sangat curam untuk dilalui. Undakan bebatuan yang dipijaki licin berlumut, bercampur pula tanah merah berdebu membuat siapapun harus ekstra hati-hati melangkahinya apabila tidak ingin terperosok dan entah mendarat di jurang sebelah mana.
Setelah sekian puluh meter terus menuruni jalur lumut berbatu, tanda-tanda keberadaan mata air belum juga tampak. Hati kecil sempat cemas mengingat teman-teman sudah menunggu kami cukup lama di atas sana.

Keadaan suasana di dalam hutan semakin gelap, tapi kami yakin arah yang ditempuh sedikitpun tidak tersasar. Walau lelah, kami berusaha untuk tetap berada di jalur yang harus dengan cermat-cermat pula dilaluinya.

Cahaya yang menembus ke dalam hutan semakin meredup. Penerangan bantuan belum sangat kami perlukan sebab jalur yang dilalui masih terlihat walau mulai samar. Hatiku mulai cemas, tapi ku usahakan untuk tidak terlalu menguasai karena akan merusak konsentrasi. Saat beristirahat sejenak sempat kuputuskan untuk menghentikan pencarian sumber mata air karena kondisi disekitaran mulai gulita dan berkabut. Haus ditenggorokan sudah tidak dirasai lagi, namun bayangan air dingin nan sejuk semakin membayang-bayang di mata. Sebelum putus asa dan benar-benar tersesat, pencarian air terpaksa dilakukan ke desa terdekat dengan sejuta resiko dan konsekuensinya, potong jalur kompas jadi pilihan terbaik.

Bukit Pintu Angin lah yang paling dekat. Gulita sudah benar-benar menguasai. Tapi hati kami begitu tenang karena sumber mata air telah di hadapan. Temanku Miftsex sudah bisa tertawa-tawa lagi. Raut wajahnya sudah tidak sekaku tadi waktu di hutan. Bukannya untuk menggoda, tetapi dia terlihat begitu cemas tadi.

Sambil mengisi trashbag dengan air yang keluar dari pancuran milik warga desa, Wahcigarette sebatang dua dibakari. Aroma nirwana membumbung wangi sekali, bawakan kami sejuta ketenangan di hati. Kami tertawa-tawa di rindangan pohon mengingat perjalanan turun mencari air tadi. Cuaca memang sedang dipengaruhi musim kemarau, jadi wajar saja jika sumber mata air mengering.
Dalam beberapa menit, separuh double trashbag telah terisi air, tinggal beberapa liter lagi tentu akan cukup untuk persediaan hingga esok hari. Setelah dirasai cukup, double trashbag tersebut dimasukkan ke dalam keril, sekitar 60 liter air telah siap untuk diangkut. Sesuai dengan perjanjian tanpa materai 6 ribuan, kami akan memikulnya bergantian. Ada canda disana, "Seperti mempraktekkan peribahasa saja, “Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”, seloroh Miftsex cairkan suasana.



Perjalanan memikul air kembali menuju titik tinggi 1980 mdpl dimana teman-teman menunggu terasa sangat berat. Double trashbag berisi sekitar 60 liter air lah yang membuat langkah-langkah kami kami tak mampu untuk mendaki cepat. Seisi hutan sudah gulita semuanya. Cahaya senter dalam genggaman dengan susah payah menembusi kabut tebal yang menghalangi pandangan. Suasananya mencekam, tapi kaki-kaki tetap kami langkahkan tuk segera sampai di tujuan.

Sampai di titik yang telah ditentukan, ternyata teman-teman sudah tidak berada disana. Keyakinan kami mengatakan mereka sudah pindah lebih dahulu mencari space untuk mendirikan tenda. Kaos yang kami kenakan sudah basah sejak tadi oleh keringat. Nafas yang tersengal-sengal diatur hela hembusannya untuk tetap stabil. Kukatakan pada Miftsex kalau teman-teman tidak jauh dari sini. Menurutku berdasar keterangan Peta Digital ada sebuah dataran yang kiranya cukup untuk mendirikan 1-2 buah tenda sekitar 60 meter di atas sana.

Perkiraanku tidak meleset. Teman-teman memang berada di tempat itu. Tenda berkapasitas 7 orang sudah tegak didirikan. Demi mengabarkan kedatangan, kutirukan seruan si Amang dan berjawab. Teman-teman berhamburan menyambut kami.

Keril berisi sekitaran 60 liter air segera kuserahkan. Senyuman dan salam dari teman-teman sudah lebih dari cukup sebagai penghargaan. Merebahkan badan sambil menghilangkan pegal-pegal di kaki memang sudah direncanakan semenjak di bawah tadi. 3 jam perjalanan turun-naik membuat diri merasakan lelah yang sangat. Udara dingin yang meliputi seisi hutan tidak terasa mengganggu, badan ku sesekali berasap memuaikan uap keringat. Dan di hamparan matras yang digelarkan teman-teman aku sempat tertidur sejenak.

Minuman panas dan makan malam sudah terhidang saat aku dibangunkan. Udara dingin dalam sekejap menjalari seluruh tubuh. Kukenakan mantel tebal tuk menghangatkan badan. Teman-teman yang lain bersenda gurau mengitari perapian. Langit di atas Burangrang begitu cerahnya malam ini. Bintang kerlap-kerlip bertebaran memayungi, indahnya bukan main. Suasana seperti inilah yang dirindukan setiap pecinta alam, kedamaian yang menenangkan.



Lepas dari tengah malam, kami semua masuk ke dalam tenda. Udara dingin mulai terasa menggiti tulang. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, perapian pun dimatikan. Tibalah saat bagi kami tuk beristirahat sebab esok pendakian menuju puncak Burangrang harus dilanjutkan.

HUTAN BURANGRANG pukul 07.10 pagi.

Mataharinya cerah sekali. Tapi kabut tebal tipis masih terlihat menguasai. Teman-teman masih tertidur di dalam tenda. Walau sudah tahu kesiangan mereka tetap enggan melepaskan sleeping bag yang membaluti badan. Kuhirupi kesegaran udara di luar. Kusempatkan juga melakukan sedikit gerak badan sambil berjalan-jalan diantara pepohonan hutan. Nikmati suasana pagi di hutan Burangrang sungguh menyenangkan.

Saat kembali ke tenda, teman-teman sudah bangun semuanya. Mellon dan Miftsex terlihat menyiapkan sarapan, yang lain membereskan peralatan tidur dan merapikannya. Aku langsung memesan segelas teh manis panas, rasanya nikmat sekali diminum di udara pagi sedingin ini.



Lewat dari tengah hari pendakian menuju puncak pun dilakukan. Kaki-kaki kami kembali menelusuri jalur pendakian. Seperti sejak di awalnya, jalur menuju puncak terlihat semakin terjal dan curam, berliku, dan menanjak turun. Langit di atas Burangrang tertutup mendung yang bergelayut. Udara dingin cepat sekali menguasai. Lapisan kabut yang bergulung membuat nafas tersengal-sengal, kami sampai harus beberapa kali berhenti untuk menguasai keadaan.



Sampai di titik tinggi 2002 mdpl keindahan alam semakin memukau. Tengkukku sampai merinding melihat jurang-jurang yang tak dapat diukur berapa meter kedalamannya. Kalau saja ada yang terjatuh sudah tentu akan sulit sekali ditolong dan ditemukan. Dihadapan kami pula sebuah tebing tinggi indah menjulang, mengalahkan keangkuhan siapapun yang memandang. Tangan-tangan angin selama ribuan tahun lah yang mengukirnya, cadas dan terjal. Hati berseru, Allah Maha Besar !!!
Puas dengan keindahan tebing nan terjal dan jurang-jurang yang sangat dalam, pendakian menuju puncak Burangrang pun dilanjutkan. Jalur yang dilalui semakin extreme dan menegangkan.

Adrenaline ku memuncak saat kami tiba disebuah jalur menanjak dengan bebatuan cadas bercampur debu sebagai pijakan. Tak ada apa-apa di kiri dan kanan selain jurang dan jurang. Licin sekali disini. Sangat disarankan untuk tetap tenang-tenang memilih pijakan. Sebuah prasasti sebagai nisan peringatan dari seorang pendaki yang tewas menghias pinggiran jalur pendakian, “In Memoriam..” mengingatkan setiap pendaki untuk tetap mawas diri dan hati-hati menghadapi Burangrang nan garang.

Lepas dari tanjakan berkontur batu nan extreme tadi, puncak Burangrang tegaklah dihadapan. Hanya tinggal beberapa meter saja sampailah diri menyentuh sebuah tugu sebagai titik puncak 2064 mdpl nya. Sejuta syukur dipersembahkan kepada Sang Pencipta telah merestui kami menikmati keindahan alam di atas puncaknya.





BURANGRANG.., Garang….
BURANGRANG.., Aku Datang…..!!!

Teks dan photo by Firmanto Hanggoro

Tidak ada komentar:

Posting Komentar