Kamis, 31 Desember 2015

Pesona Dieng dalam Episode Kejar Tayang



Setiap perjalanan selalu menyimpan kisahnya sendiri sendiri. Begitu pula perjalanan menutup hari libur lebaran 2015 yang lalu. Late post banget, kan saya! Daripada tidak sama sekali. Baiklah:)
Dari Jember, tanggal 21 Juli sekitar pukul setengah satu siang, menggunakan bus sendirian, saya sampai di Semarang sekitar pukul setengah 2 dini hari yang sudah masuk tanggal 22 Juli. Lupa lagi kalau di mess tempat saya tinggal yang juga kontrakan bersama teman teman kantor di luar Semarang, masih sepi dan nggak ada yang buka pintu. Walah! Akhirnya saya memanjat pagar besi yang ukurannya sedang sambil tengok kanan kiri. Duh,alhamdulillah misi sukses. (tepokjidat!)

Tidur sebentar, pukul 8 pagi saya sudah siap siap untuk berangkat mempersiapkan perjalanan ke dataran tinggi Dieng, terletak diantara dua wilayah kota Wonosobo dan Banjarnegara, Jawa Tengah. Harusnya sih berangkat bareng dengan 15 teman yang lain, tapi berhubung saya yang udah pernah ke Dieng, meski ini kedua kalinya, jadi was was kalau kalau nggak bisa kebagian tempat menginap, entah tenda ataupun homestay. Maklum, libur masih berlangsung kan..

Bersama dua orang teman yang saya ajak, bus menuju terminal Wonosobo yang seharga 40 ribu per orang itu berjalan lambat, bahkan sempat tersendat-sendat saat jalan menanjak. Akhirnya sekitar jam setengah 3 sore saya dan dua kawan sampai. Harusnya menggunakan bus kota Dieng Express yang cuma 25 ribu per orang, tapi dari jam 12 siang, ternyata cuma baru kami bertiga penumpangnya. Sedangkan kursi berjumlah 20 orang. Sampai nego berlangsung pun, kalau harus membayar 350 ribu untuk bertiga, tetap kemahalan. Alhamdulillah, kami menemukan alternatif lain. TAXI. Dengan argo, kami sampai dengan selamat di kompleks wisata Dieng Plateu dengan nominal 180 ribu. Lumayan banget dah..

Saya langsung mencari informasi. Ternyata persewaan tenda sudah habis. Tinggal pilihan homestay. Dengan informasi dari mas pemilik Dieng Pass semacam hotel yang letaknya paling depan di kompleks itu sepenglihatan saya, kami mendapat harga yang murah untuk ukuran ber-16 orang dan menguasai satu rumah. 800 ribu untuk tiga kamar, lengkap dengan ruang tamu, ruang keluarga, dan dapur yang berisi beras, mie, gula, kopi, dan juga segalon air putih. Legaaaa.. Artinya rombongan kami aman.

Malam sekitar pukul 8, kami menunggu rombongan sambil menikmati semangkok mie ongklok. Makanan khas Dieng yang semacam mie instan atau mie kuning dengan bumbu khusus. Rasanya susah digambarkan, lebih baik langsung datang buat mencoba. Meski untuk mencobanya pun, kita perlu referensi mie ongklok di warung mana yang paling enak. Karena tentu saja, banyaknya warung disini membuat kita harus selektif. Harga juga rasa. Ya sekitar 10 ribu sampai 30 ribu sekali makan kira kira. Lengkap dengan segelas minuman hangat atau yang lain.

Setelah 14 orang lain yang menumpangi dua mobil rent car dari Semarang tiba, dan acara makan makan selesai, kami pun menggelar family day semacam ajang curhat saling mengenal antar satu dengan yang lain. Hoammm. Yang penting, jam 02.30 semua harus bangun buat memulai petualangan ya, pesan saya yang sudah dengan susah payah sampai duluan dan membuat jadwal episode kejar tayang ala sinetron FTV buat mereka semua.

Waiting for The Golden Sunrise Sikunir

Tepat jam 03.00 kami semua siap. Ditemani dengan sang guide yang juga pemilik homestay nya. Normalnya sih jasa guide sekitar 50 ribu tapi dua tahun lalu, baik mengawal individu maupun kelompok. Tapi kali ini saya mematok fee 100 ribu buat si bapak meski dianya meminta sukarela. Tujuan utama tentu sunrise Sikunir di Desa Sembungan.

Karena ini pengalaman kedua saya berkunjung ke Dieng, mau tak mau saya kembali memanggil memori lama saya. Apalagi kalau bukan membandingkan suasana dulu saat pertama datang, dan saat ini. Dulu, tulisan SIKUNIR yang gagah seolah menjadi pelambang masuk desa dan kerap digunakan berfoto itu, baru saja selesai dibuat dan masih kinclong. Kini terlihat catnya sudah beberapa memudar. Area parkir pun meluas, beda dengan dulu yang apa adanya. Sekarang, Sikunir memang tak terbantahkan telah menjadi tujuan utama untuk melihat sunrise bagi siapa saja yang berpelesir menikmati tempat wisata dataran tinggi Dieng, minus pilihan mendaki gunung ke puncak Prau pastinya.

Saya dan 15 orang lain pun terpencar-pencar dalam beberapa kelompok. Jalanan menuju puncaknya yang memang serupa bukit ini pun berganti suasana seperti sedang pembukaan pameran pada hari pertama, berjalan menyemut atau padat merayap. Jalanannya sudah banyak dilewati sehingga tak seasing dulu yang kanan kirinya tanpa pagar. Sesampai di puncak Sikunir pun, lautan manusia juga memenuhi beberapa sisinya. Sehingga kita pun harus mencari strategi untuk mendapat tempat terbaik menanti sunrise. Ya, akhirnya saya menemukan tempat.

Katanya, kemarin-kemarin matahari terbit yang menawarkan banyak keindahan dan kekaguman saat melihatnya sempat malu-malu muncul atau tidak muncul sama sekali karena cuaca yang tidak pasti. Tapi, alhamdulillah pagi ini, lain dari pagi yang kemarin. Mula-mula samar, kemudian berwarna jingga oranye persis seperti warna eye shadow di atas mata yang menawan, membentuk garis indah. Dan berakhir sempurna, bulat dan kuning terang. Semuanya sibuk memainkan kamera, mengucap syukur, menghitung mundur, dan aneka respon lain.  

 

Semua wajib turun jam 6 yah, begitu pesan saya ke mereka semua. Menuruni Sikunir, banyak terdapat warung yang bisa dijadikan tempat bersantai sejenak barang menghela nafas dan menghangatkan badan dengan segelas kopi atau teh hangat. Terlihat Danau Cebong bagai sekumpulan air dalam wadah plastik yang sengaja diturunkan ke bumi. Siluet matahari pun makin menambah menariknya obyek tersebut. Biasanya juga ada yang berkemah di tepiannya.


Sembari menunggu yang lain, saya juga memperhatikan kegiatan orang lain, terutama warga sekitar yang saya rasa merasa berkelimpahan berkah dengan banyaknya orang yang datang. Itu terlihat dari semangat yang muncul di wajah-wajah yang selalu tersenyum menyambut kami, para turis domestik, dan beberapa turis internasional. Baik itu penjaja warung, tukang parkir, penjual pelengkap penghangat tubuh, guide, sampai pemuda-pemuda desa yang terlihat menyuguhkan hiburan musik ala pengamen jalanan dengan apa adanya atau beberapa kostum unik. O iya, karena dataran tinggi Dieng ini juga kaya hasil pertanian, banyak juga sayur mayur yang dijual di jajaran warung tadi. Mulai dari kentang unyil karena bentuknya yang kecil, terung Belanda, dan lainnya. Cocok buat oleh-oleh:)



Berpelesir di Tujuan Lain 

Tak lama saya kembali ingat jadwal kejar tayang yang sudah saya buat. Ngapain keburu-buru, sih? Ini berhubungan dengan biaya rent car yang membengkak bila kami serombongan tak sampai Semarang tepat waktu malam nanti. Bisa gawat!

Setelah menelpon beberapa orang, menyambungkan dari mulut ke mulut tentang rombongan yang belum kembali ke mobil, kami langsung tancap gas menuju tujuan berikutnya. Harus selesai sebelum jam 12 siang, duh! Sebenarnya ada Dieng Plateu semacam gedung teater yang menyuguhkan sejarah tentang Dieng, tapi karena keterbatasan waktu, kami memutuskan tak mampir kesana. Dua tahun lalu saya juga belum mampir, hm sial memang.

Kami memilih agak sedikit berjalan menanjak menuju bukit ratapan angin, persis di belakang Dieng Plateu dan melewati ladang pertanian warga. Saya asli terkaget-kaget melihat tempat yang dua tahun lalu masih jadi spot tersembunyi. “Hanya beberapa orang aja mbak yang tau tempat ini. Biasanya fotografer yang ingin mengambil pemandangan Telaga Warna dari atas, baru kita pandu.”, itu kata-kata guide saya dulu yang masih saya ingat dengan jelas. Memang landscape Telaga Warna dan sebagian besar dataran tinggi Dieng tertangkap sempurna dari sini.


Tapi siapa yang menyangka kalau saat ini, tempat yang hanya mengandalkan satu atau dua pijakan kaki untuk berfoto di atas bongkahan batu tebing ini, dengan tanpa pengamanan secukupnya apalagi ketat, mendadak dikarciskan dan juga menjadi jujugan wisata. Alamakjang! Saya berkali-kali mengelus dada. Tak menyangka kalau hanya dalam jangka waktu dua tahun saja, arus perubahan begitu terasa. Kami membayar 10 ribu per orang dan diijinkan begitu saja masuk. Antri ya, hanya itu pesannya. Sesampai disana, tak ada petugas apapun. Ada semacam saung beratap untuk menunggu, dan kemudian sekenanya, orang antri diantara bongkahan batu. Haduh, saya yang terpaksa jadi pasukan pengaman dadakan. Memegang tangan beberapa anak kecil yang bergantian berfoto dengan orang tuanya. Menurut saya, ini sih nekat. Tak seimbang atau terpeleset sedikit, langsung terjun bebas, deh. Untungnya, hari itu, hanya sepatu anak kecil yang terjun bebas. Hmmmmm…



Selanjutnya, tujuan kami langsung ke arah kawah Sikidang, hanya sebagian kecil dari berbagai kawah yang ada di dataran tinggi Dieng. Setelah parkir, saya dan beberapa kawan yang masih semangat berjalan, sedang yang lain malah berleha-leha di mobil dengan alasan capek (huft!), langsung disambut hawa belerang yang menyengat. Terutama ketika makin lama makin dekat dengan kawah. Bila angin berhembus, hawa belerang makin kuat menusuk. Makanya banyak yang menawarkan masker di spot tersebut.

Baca selengkapnya disini

Posted by Prita HW

Pulau Keakease yang Bikin Lupa



Entah apa artinya Keakease, saya tak sempat lagi bertanya ketika dari jauh, dari atas perahu nelayan yang saya tumpangi, panorama pulau ini begitu menggoda. Pantai berpasir putih, sejumlah vegetasi hidup subur di atasnya; pertanda ekosistem di pulau ini masih baik. Begitu perahu bersandar, saya langsung lupa, mengapa pulau ini disebut Keakease.

Pulau yang berada di koordinat 0° 30' 23.000" LU dan 121° 37' 50.000" BT ini masuk dalam wilayah Kecamatan Wonggarasi, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo. Dari Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Wonggarasi, jika ditarik garis lurus, jarak menuju pulau ini sekitar 1 kilometer.

Kasat mata, pulau ini seperti jarang sekali disinggahi orang. Kontur pulau ini berundak-undak. Ada kubangan yang menghidupi sejumlah hewan kecil di dalamnya. Ada bunga-bunga khas tumbuhan pantai. Menyenangkan bisa berada di pulau ini.

Namun setelah jeli melihat setiap sudut pulau ini, ternyata banyak jejak manusia yang sudah bersandar di pulau ini; puntung rokok, sepatu anak-anak dan bungkus makanan ringan. Tak berserakan memang, tapi cukup mengganggu.

Saya tak sampai menyelami kehidupan bawah lautnya, tapi melihat dari atas saja, meski samar-samar, saya bisa menebak bagaimana terumbu karang di bawah sana tumbuh dan pasti menarik untuk dinikmati mereka yang suka menyelam.

Yang lebih menakjubkan dari pemandangan di pulau ini adalah, saya bisa melihat sejumlah pulau yang berada di sekitarnya. Pulau-pulau tak berpenghuni dan sama cantiknya.

Arah barat laut dari Pulau Keakease, terdapat Pulau Samaunu di koordinat 0° 30' 49.212" LU dan 121° 37' 10.180" BT. Lebih dekat ke daratan Pohuwato, masih ada dua pulau; Limboku Da’a di koordinat 0° 31' 42.000" LU dan 121° 38' 17.000" BT dan Limboku Kiki di koordinat 0° 31' 30.000" LU dan 121° 38' 45.000" BT.

Sebelum sampai pulau ini, jika berperahu dari TPI Wonggarasi, ada juga Pulau Olinggobe namanya. Pulau di koordinat 0° 30' 6.000" LU dan 121° 39' 27.000" BT ini pernah menjadi pusat perdagangan ikan hidup. Tapi sejak tahun 2000-an hiruk pikuknya lenyap. Kabarnya pengusaha ikan hidup asal China itu menutup bisnisnya lantaran populasi ikan di perairan itu sudah tak bisa diandalkan jadi komoditas lagi.

Takjub rasanya berada di tengah pulau yang dikelilingi pulau-pulau tak berpenghuni di sekitarnya. Memang ada sejumlah gubug yang berdiri di atas pulau-pulau tadi. Tapi itu hanya tempat peristirahatan para nelayan yang lelah mengarungi laut untuk sementara, badaseng istilahnya dalam bahasa setempat.

Layaknya daerah lain di Sulawesi, penorama laut Gorontalo memang membius siapa pun yang memandangnya. Ada 123 pulau yang tersebar di tiga kabupaten di Provinsi yang sudah mendeklarasikan kemerdekaannya pada 23 Januari 1942 ini. Ada 53 pulau di Kabupaten Gorontalo Utara, 22 di Kabupaten Boalemo dan 48 pulau di Kabupaten Pohuwato.

Indonesia memang kaya, Indonesia memang indah. Sangat menantang memang untuk menelusurinya. Tapi jangan lupa, kekayaan dan keindahan itu tak sepenuhnya menjadi hak kita.
Tidakkah teman-teman kita yang belum sempat berkunjung juga punya hak yang sama, bukankah miris jika kita hanya mewariskan cerita kekayaan dan keindahan itu pada generasi kita kelak, sementara mereka tak pernah dapat membuktikan kesombongan kita itu karena kita menebar sampah dan merusak ekosistemnya hari ini.

Posted by Deny Ahmad Furqon

 

Lumba lumba Pantai Lovina



Perjalanan kali ini adalah menuju Pantai Lovina. Bagi yang memilih Pulau Bali sebagai tempat berlibur maka menyelipkan Pantai Lovina sebagai salah satu objek wisata yang akan dikunjungi adalah tepat!

Lokasinya lumayan jauh memang, yaitu sekitar 9 km sebelah barat kota Singaraja, sedangkan dari kota Denpasar memerlukan waktu tempuh sekitar 2-3 jam dengan kendaraan bermotor dalam kondisi normal.

Apa sih keistimewaan pantai Lovina? Namanya juga pantai, pasti banyak pasirnya hehehe. Tapi yang unik dari Pantai Lovina ini adalah arti dari namanya sendiri Lovina, konon diambil dari 2 kata Love dan Ina, Menurut A.A. Panji Tisna,tokoh adat setempat. Lovina memiliki makna filosofis, campuran dua suku kata "Love" dan "Ina". Kata "Love" dari bahasa Inggris berarti kasih yang tulus dan "Ina" dari bahasa Bali atau bahasa daerah yang berarti "ibu". Kemudian arti "Lovina" adalah "Cinta Ibu" atau arti luhurnya adalah "Cinta Ibu Pertiwi". Sangatlah membanggakan!


Keistimewaan lainnya adalah Pantai ini banyak dihuni oleh kawanan ikan lumba-lumba, yang menjadikan pantai ini dikenal dengan natural Dolphin Shownya. Betul! kita bisa melihat lumba-lumba berkejar-kejaran dalam kelompok kelompok yang berjumlah banyak. menyenangkan sekali.

Untuk mendapatkan pertunjukkan yang menakjubkan itu, maka yang harus kita 'korbankan' :

  • Waktu Tidur. Disarankan dengan sangat! Untuk datang pagi buta untuk sekalian melihat sunrise, untuk itu jika kita menginap di area Denpasar dan sekitarnya, maka harus berangkat sekitar jam 2 pagi waktu setempat. Apabila kesiangan kita bakal susah cari perahu dan kehilangan moment sunrise yang menakjubkan.
  • Biaya untuk sewa kendaraan.Harus menggunakan kendaraan pribadi atau ikut paket tour, atau menyewa kendaraan, banyak agen rent car tersebar dipenjuru Bali. Saya menyarankan untuk menyewa mobil, krn lebih effisien terlebih jika bepergian bersama teman - teman, bisa lebih murah biayanya.
Perjalanan menuju Pantai Lovina sangat mudah, tinggal mengikuti rambu jalan menuju Singaraja, menyusuri jalan aspal yang juga merupakan jalan utama.

Sesampainya di Area Pantai Lovina, biasanya (jika tidak kesiangan) kita akan disapa oleh calo atau bahkan pemilik perahu langsung, yang menunggu dipinggir jalan menuju pantai, maka transaksi lgs dilakukan ditempat, untuk menyewa perahu yang bisa mengangkut sampai dengan 5 penumpang ini dikenakan biaya sekitar Rp 60.000/orang (bisa ditawar, bisa juga tidak). Setelah sepakat maka kita akan dikawal menuju perahu, dan mulai menuju laut sekitar pukul 5 pagi. Udara masih sejuk, angin berhembus tenang, seiiring mesin perahu berderu memecah riak - riak pantai. Durasi melaut sekitar 2 jam (karena diatas jam 7 pagi sinar matahari mulai terasa menyengat).

Menyaksikan sang surya menyeruak dari kegelapan dan menyemburkan bias warna jingga ke langit dari atas perahu kayu sederhana diatas laut lepas, seiring dengan kawanan lumba-lumba yang mulai genit berlompatan dan berkejar-kejaran, sungguh pengalaman yang tidak bisa dilupakan, terbayarlah mata sepet yang dari tadi nagih secangkir kopi karena harus bangun terlalu pagi. Luar Biasa!
Keindahan alam yang harus selalu kita jaga, Indonesia yang akan selalu kita banggakan, warisan besar yang harus selalu kita kawal sampai kapanpun, Khatulistiwa kami tercinta.

Estimasi perhitungan biaya perjalanan hingga tulisan ini dimuat :

- Sewa mobil 24jam tanpa sopir (avanza/apv) : Rp.200.000
- Bensin : Rp.200.000
- Sewa perahu perorang: Rp. 60.000. Jika bepergian dengan 4 orang biaya bisa ditanggung bersama.

Selamat piknik!

Posted by Guts Wateva

Mengeruda Hot spring, Soa. Bejawa Flores

Saya cukup terkejut ketika Guide kami Pak Dino bilang, "besok
siap-siap jam 6 pagi bawa alat mandi, handuk dan baju ganti," ujarnya.
Kami terdiam sejenak karena masih belum paham dengan apa yang di
maksud olehnya. Apalagi mengingat tempat Yang kami kunjungi Ini
termasuk cukup dingin, kami berada di ketinggian ??? DPL.

Cukup diketahui, Bajawa Ini daerah tertinggi kedua di Flores setelah Ruteng.
Adalah Bajawa, Negri di atas awan. Ungkapan itu lebih cocok untuk
tempat ini. Dari tempat ini, kami dapat melihat awan yang menutupi
sebagian daerah Bajawa dengan sejumlah gunungnya yang mengelilingi pulau tersebut serta hamparan lautan di kejauhan. Malam hari pun yang terlihat hanya kerlap-kerlip lampu dari rumah para penduduk setempat.

Terlihat barisan gunung menjulang diantara cahaya matahari yg
terbenam. Aaaah..., Flores sungguh tidak berhenti memberi kami
pemandangan yang memukau, dari sejak kami bangun dari tidur sampai malam pun kembali tiba.

MENGERUDA HOT SPRING

Mengeruda hot spring berada di lokasi Kampung Mengeruda Soa, kurang lebih 25 km dari Bajawa, Ibu Kota Ngada. Menurut kepercayaan orang lokal, Mengeruda Hot spring Ini biasanya digunakan masyarakat setempat untuk melakukan pengobatan tradisional, terutama penyakit kulit.

Hari sudah pagi. Jam 6.30 kami berangkat dari hotel. Dengan membawa semua peralatan mandi seperti yang sudah di beritau guide, kami pun berangkat menuju tempat yang diceritakan.
Perjalanan sungguh mengesankan. Kami melewati kampung-kampung dengan
pemandangan kesibukan pagi hari penduduk setempat. Terlihat anak anak pergi sekolah dengan menaiki mobil pick up terbuka. Tanpa memperhatikan keselamatan diri nya, mereka asik bercanda gurau. Memang sebagian dari mereka harus menempuh perjalanan yang cukup jauh untuk mencapai sekolah. Sebagian dari mereka pun datang ke sekolah tanpa menggunakan sepatu. Sebuah pemandangan yang tak bisa saya dapat di berbagai kota besar.

Mereka melambaikan tangan sambil berteriak, "Halloo mister..!" Entah
cuma kata mister yang mereka tau untuk semua turis lokal mau pun
international atau mereka sengaja meledek saya. Dalam hati
bertanya-tanya sambil tersenyum melihat keceriaan mereka di pagi hari.


"Aaah Kerbau Jawa..!" Begitu kata guide kami sambil menunjuk ke arah sepeda motor yang menarik box untuk penumpang dan alat pematang sawah di depan motor tersebut. Belum pernah saya melihat motor seperti ini sebelumnya. Motor yang di gunakan untuk transportasi dan juga di sawah.
Sekian jauh melintasi perkampungan, perkebunan dan hutan bambu,
akhirnya kami pun tiba di Pemandian air panas ini, Mengeruda hot
spring.

Tersedia areal parkir yang cukup luas, dan belum ada satu pengunjung
pun pagi itu. Mungkin karena ini Sabtu pagi, jikalau kami datang pada
hari minggu atau hari libur nasional akan beda lagi cerita nya. Tempat
Ini menjadi tempat liburan penduduk lokal, Mau pun manca negara.
Dengan peralatan mandi ditangan beserta tas dan kamera pun tak lupa
tertinggal, kami masuk ke areal pemandian. Tertegun sejenak karena
terdengar suara air deras, seperti air terjun. Suaranya begitu
mengesani, lalu kami pun sibuk mencari arah sumber suara dan
meninggalkan guide kami di belakang.

Terlihat air yang mengalir cukup deras dan bukan cuma dari satu arah.
Mata kami pun berbinar-binar layaknya anak kecil yang melihat
gula-gula idamannya.

Belum sempat kami turun ke air tersebut, guide kami mengingat kan
untuk berhati-hati karena air yang keluar dari sebelah kiri itu
dingin, kalau mau yang panas ada di depan sana. Dengan sigap nya kami pun mengikuti arahannya setelah mengabadikan beberapa moment di kamera.

Air ini lebih deras dari yang sebelumnya, saya pun meletakkan semua
barang bawaan di lantai dan turun untuk merasakan hangatnya air yg
mengalir Ini. Tak puas rasanya kalau saya tidak turun Ke bebatuan
itu, bebatuan tempat di mana dua mata air ini bertemu, air dingin dan
air panas.

Puas bermain dibebatuan untuk beberapa saat dan mengabadikan beberapa moment, saya kembali ke atas dengan maksud kali ini saya akan mandi di air yang mengalir Ini. Tak lama ada suara yang memanggil nama saya, guide yang di kejauhan memberi tanda agar datang ke tempat yang ditunjukannya.

Saya pun bergegas mendatangi nya, terkejut begitu takjub melihat
tempat yang menyerupai kolam renang bundar dengan airnya yang begitu jernih sehingga bebatuan di dasarnya pun terlihat. Disekelilingnya ditutupi oleh rindangnya pepohonan berhias uap yang timbul dari hangatnya air serta biasan cahaya matahari pagi yang masuk lewat celah-celah pepohonan menambah takjub di buat nya. Heaven! Is it for real?

Tanpa kata-kata saya langsung turun dan berbaring di atas air yang
hangat ini. Tidak perlu bath tub, tidak perlu water heater, tempat ini
begitu sempurna! Perlahan mata pun terpejam menikmatinya sembari bibir ini mengucap, " Terima Kasih Tuhan,".

Kolam alam ini di kelilingi pagar tembok yang sedikit lebih tinggi
sehingga tak terlihat dari luar. Air nya yang begitu Jernih membuat
dasarnya terlihat jelas. Dengan memakai sandal saya berjalan keliling
di mata air Ini, karena bebatuan kerikil di dasar nya dapat melukai
kaki kalau tidak hat-hati melangkah.

Kedalamannya hanya sebatas pinggang orang dewasa dan sebagian ada yang lebih dangkal lagi. Akar pohon besar yang mengelilingi mata air ini pun terlihat jelas dalam air. Suhu air dititik mata air ini terasa lebih panas di mana air hangat ini keluar.

Arus sedikit keras, dorongannya begitu terasa ketika saya berbaring di
batu yang alirannya mengarah keluar kolam menuju sungai kecil yang
mempertemukan dua mata air dingin dan air hangat ini. Ketika asik
berbaring ternyata kaki saya tertarik oleh arus dan sedikit terdorong
menuju arah sungai. Untung nya ada bebatuan tempat saya berpegang
sehingga keseimbangan kembali terjaga.

Kami dapat mencuci rambut dengan shampoo dan menggosok badan dengan sabun tanpa hilang busa nya seperti di pemandian air panas lainnya. Air di tempat Ini tidak mengandung sulfur atau belerang yang membuat bau tak sedap atau mengakibatkan busa dari shampoo dan sabun, hilang. Fresh water!
Puas setelah berlama-lama menikmati air hangat sangat membantu untuk mereleksasi punggung dan badan selama perjalanan. Pemandangan tempat ini pun membuat saya betah untuk berendam. Terlihat seorang ibu penduduk setempat datang dengan hanya menggunakan kain serta membawa pakaian untuk di cuci. Saya memperhatikan beliau untuk beberapa saat sambil berkata dalam hati begitu nikmat kehidupan sang ibu yang sederhana Ini.
Posted by Firmanto Hanggoro


Sabtu-Minggu yang Menginspirasi *Catatan Jamrel 2015

Apa sih yang biasanya kita lakukan di hari Sabtu dan Minggu ? Jalan-jalan, shopping, memanjakan diri, bebenah rumah, berkumpul bersama keluarga atau ada pula yang sekedar nongkrong ngopi-ngopi bersama teman dan sahabat. Itu yang biasanya menjadi pilihan kegiatan apa yang akan kita lakukan di saat weekend tiba. 
Saya memutuskan untuk mengisi waktu di hari Sabtu dan Minggu pekan ini dengan hal yang sedikit berbeda (28-29 November). Saya diutus teman-teman komunitas Jurnal Khatulistiwa untuk mengikuti kegiatan Jambore Relawan dengan tema "Merekam Jejak Relawan". Sesuatu yang terbersit dalam pikiran saya saat itu adalah "acara apa itu ?", rasa penasaranpun mendera karena saya belum pernah menjadi relawan sebelumnya. Dengan antusias saya datang ke tempat dimana kegiatan tersebut diadakan yaitu di Sekolah Raya Hos Tjokroaminoto, Tarumajaya, Bekasi, Jawa Barat. 
Setibanya disana sudah ramai sekali, peserta Jambore ternyata tidak hanya berasal dari Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi atau yang sering kita sebut Jabodetabek, melainkan dari berbagai daerah di Indonesia seperti Bandung, Indramayu, Cirebon, Jogjakarta, Papua, Sulawesi Tengah, Kalimantan, dan lain-lain. 
Wow !! Bertambah senang rasanya bisa bertemu dan berkenalan dengan teman-teman baru dari berbagai daerah. 
Pagi itu para peserta Jambore disambut oleh pihak Sekolah Raya dengan prosesi Palang Pintu sebagai kearifan lokal yang diperkenalkan. Tradisi Palang Pintu merupakan salah satu tradisi yang menjadi identitas masyarakat Betawi. Biasanya tradisi ini menjadi bagian dari proses upacara pernikahan. Kaidah yang terkandung dalam upacara Palang Pintu adalah Pengantin Laki-Laki di tuntut untuk bisa main Silat agar dapat melindungi istrinya dari orang-orang yang ingin berbuat jahat dan juga Pengantin Laki-laki dituntut bisa mengaji agar nantinya bisa menjadi imam yang baik dan mencontohkan hal yang baik kepada anak-istirnya. Semoga budaya Betawi yang satu ini tidak akan pudar digerus zaman dan ada generasi muda yang ingin melestarikan budaya ini tau adanya tradisi Palang Pintu. Namun pada kesempatan ini tradisi Palang Pintu diselenggarakan sebagai sebuah prosesi penerimaan bagi para tamu Jambore.



Saya sudah tak sabar menunggu kegiatan berikutnya. Setelah selesai menonton prosesi Palang Pintu, kami semua masuk ke dalam Aula lalu duduk bersama mendengarkan sambutan dan perkenalan dari panitia kegiatan Jambore.
Tidak lama berselang kegiatan inti pun dimulai. Seperti yang sudah dijelaskan oleh panitia bahwa kegiatan hari itu akan di isi oleh beberapa narasumber untuk memberikan materi tentang cara menulis. Luar biasanya, kami dipertemukan dengan narasumber-narasumber yang hebat seperti :
  1. Ahmad Fuadi, penulis buku dan novel best seller di Indonesia, salah satu karyanya adalah novel Negeri 5 Menara. Siapa yang tidak mengenal buku itu bahkan buku itu sudah difilmkan.
  2. Farhan, artis, presenter, penyiar radio yang pastinya tak asing lagi bagi kita. Farhan mengatakan, "Jadikan pendidikan itu menjadi alat untuk memberdayakan kita."
  3. Fauzan Mukrim, penulis buku "Mencari Tepi Langit". Beliau mengungkapkan alasan mengapa kita harus menulis, alasannya adalah karena memori kita terbatas, menjaga sejarah, merekam ingatan baik, berdamai dengan diri sendiri, panduan langkah selanjutnya, dan menjaga agar kita tetap waras.
  4. Gumanti a.k.a Ajo sebutan laki-laki dalam bahasa Minang, karena beliau salah satu putra Minang yang juga handal dalam menulis. Ajo bilang, "Menulis itu gampang, segampang berbicara." Beliau memberikan rumus dasar dalam menulis yaitu 5W + 1H (What, Who, When, Where, Why + How). Lain waktu kita bahas soal rumus ini, soalnya cukup panjang kalau harus saya tulis disini.
  5. Indah Julianti, para blogger pasti sudah mengenal mbak yang satu ini yang selalu menuliskan cerita/pengalaman sehari-hari dalam blognya. Mbak Julie ini, begitu panggilannya memotivasi kita agar dapat selalu menulis apa saja ke dalam Digital Diary dengan baik dan mempublikasikannya melalui social media agar diterima oleh netizen. Mbak Julie berulang-ulang bilang kalau dari ngeblog kita bisa dapat duit lohh ! Jadi bukan hanya sekedar hobi tapi juga bisa dapat penghasilan.
  6. Agustian, Bapak yang satu ini adalah foundernya Sekolah Raya. Beliau tak kalah hebat dengan yang lainnya. Begitu banyak suka dan duka yang sudah beliau alami dari awal Sekolah Raya didirikan sampai 9 tahun ini masih berdiri dan semakin solid. Mendidik dengan cinta adalah pendekatan yang dilakukan di sekolah ini. Sekolah Raya hadir sebagai jaringan afiliasi institusi pendidikan dan relawan sebagai hubungan merealisasikan gagasan-gagasan kurikulum alam dan budaya sebagai ilmu pengetahuan.


Sayangnya, ada beberapa narasumber yang tidak dapat hadir dalam kegiatan Jambore, seperti Butet Manurung, Agustinus Wibowo, Bukik Setiawan. Tapi tak apalah mungkin mereka sedang melakukan hal-hal hebat lainnya diluar sana. Kami sudah amat sangat merasa beruntung bisa bertemu dengan narasumber-narasumber yang hadir saat itu. Kami diberi pengetahuan baru, wawasan kami jadi terbuka lebar. 
Di hari Minggunya, hari kedua kegiatan Jambore, kami diberi pelatihan tentang bagaimana dapat menulis cepat. Semua peserta Jambore berdiskusi bersama, bertukar pikiran, mengungkapkan gagasan-gagasan yang ada di kepala kami masing-masing dan diolah menjadi satu kesatuan lalu dijabarkan dalam tulisan agar dapat menjadi satu buku atau tulisan yang utuh. Begitu bermanfaat dan menyenangkannya hari itu.


Keuntungan lain yang bisa kita dapat dari kegiatan Jambore Relawan adalah seperti yang saya katakan di awal tadi bahwa senangnya bertemu dengan teman-teman baru. Disela-sela kegiatan pada waktu break, kami para relawan atau peserta tepatnya, karena saya juga peserta tapi saya belum menjadi relawan. Kami berbincang, bertukar cerita, kegiatan apa saja yang sudah pernah kita lakukan sebagai relawan.
Oh Tuhan, cerita-cerita mereka benar-benar menginspirasi saya, menyentuh dan menggerakkan hati untuk dapat berbuat sesuatu yang berarti bagi sesama. Dalam benak, saya amat ingin menjadi relawan seperti mereka. 
Sekedar menceritakan, para peserta kebanyakan adalah dari komunitas-komunitas relawan di daerahnya yang berhati mulia bisa berbuat sesuatu dan membantu sesama tanpa berfikir pamrih apa yang akan mereka dapat. Ada beberapa komunitas relawan :
  • Kaki Jabar (Bandung), hal kecil yang mereka lakukan tidak pernah terpikir oleh saya, mereka melakukan kegiatan sosial yaitu berbagi kaos kaki di sekolah-sekolah pedalaman khususnya daerah Bandung, Jawa Barat. Hmmm, kepikiran ga siy oleh kita ????
  • Kelas Inspirasi, komunitas ini beranggotakan dari berbagai profesional seperti dokter, suster, guru, pilot, atlet, polisi, dll. Mereka menghabiskan 1 hari berbagi cerita dengan anak-anak sekolah khususnya sekolah dasar. Mereka berbagi ilmu dan memotivasi anak-anak bahwa begitu banyak cita-cita yang bisa diraih saat mereka besar nanti.
  • Semestarian, komunitas ini bergerak dalam bidang science. Mereka berbagi ilmu pengetahuan tentang perbintangan, planet-planet, antariksa, dan apa saja yang jarang diajarkan di sekolah. Hebat yaa ...
  • Satu Juta Buku, dari komunitas satu juta buku ini, mereka sudah berbagi banyak buku ke beberapa daerah pedalaman di Indonesia yang kekurangan buku. Semoga besok-besok tidak hanya satu juta tapi satu milyar buku. Aamiin..
  • Dan komunitas lainnya seperti Buku Berkaki, Panca Dharma, Buku untuk Papua, Rumah Belajar, Penyala dan masih banyak lagi.


Dari kegiatan Jambore relawan ini, kami bisa saling bertukar link dan saling membantu memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan di daerahnya masing-masing. Pada hakikatnya tidak ada yang kebetulan di dunia ini karena segala sesuatu sudah ada dalam skenario Sang Pencipta. Jadi, orang-orang yang kita temui, tempat-tempat yang kita kunjungi, kejadian-kejadian yang kita alami adalah skenario-Nya.


Betapa luar biasa menginspirasi hari Sabtu dan Minggu saya pekan ini. Terima kasih Tuhan, semoga Engkau tetap menjaga hati kami agar senantiasa dapat bermanfaat bagi orang banyak dan masih diberikan kesempatan untuk selalu berbuat. 
Posted by Nita

Menengok Eksotisme Pantai Daerah Gunung Kidul Jogjakarta

Tak banyak diekspose, sesuai cara mencapai lokasinya, wilayah Gunung Kidul Jogjakarta memang menyimpan banyak eksotisme. Berikut dua diantaranya yang sudah disambangi beberapa awak Jurkhat.



Pantai Ngunggah

Kecamatan Panggang, Gunung Kidul, memang bukanlah daerah yang menjadi tujuan favorit bagi para wisatawan. Pasalnya, Panggang memang lebih minim destinasi wisata dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Gunung Kidul yang memiliki Pantai Baron, Pantai Indrayanti dan pantai-pantai berpasir putih lainnya.

Tapi siapa sangka, meski tidak seramai berbagai lokasi yang disebutkan tadi ternyata Panggang memiliki pantai-pantai tersembunyi yang tidak kalah indahnya seperti Pantai Ngunggah ini.
Karena lokasinya yang tersembunyi diantara bukit-bukit karang, membuat para wisatawan harus berjuang diserta niat dan usaha yang besar demi mencapainya.

Pantai Ngunggah cocok sekali bagi para petualang yang ingin menghabiskan waktunya dengan menyepi sembari menikmati keeksotisan pantai berpasir putih ini.
Beberapa waktu lalu Jurnal Khatulistiwa menyambangi pantai ini sambil camping ceria semalaman \m/






Pantai Gesing
 


Berada diantara bukit-bukit bertebing karang, Pantai Gesing memiliki keeksotismeannya tersendiri. Pantai yang dihuni masyarakat nelayan ini begitu indah dan patut dikunjungi. Air laut yang dangkal berwarna hijau kebiruan ditepian pantai berbalut pasir putih dan bebatuan karang dikedua sisinya menambah keelokan tempat ini.

 
Bersantai, sembari menikmati deburan ombak dan hembusan angin laut, menyantap ikan bakar sajian para ibu kampung nelayan atau sekedar berjalan jalan di bibir pantai, merupakan aktifitas yang dapat kita lakukan di sini.

Meski masih terbilang sulit menuju lokasi ini, bukanlah halangan untuk mengunjunginya. Jalur yang paling mudah adalah melalui dari Jogjakarta menuju Imogiri kemudian melanjutkan perjalanan kerah Panggang. Sebuah kota kecil di dipesisir pantai. Setelah sampai di daerah Panggang, kita harus melanjutkan perjalanan ke arah timur sampai bertemu pohon beringin besar yang berada Utara jalan. Dari pohon beringin itu kita berbelok ke kanan dan mengikuti jalan hingga sekitar 10km. Beberapa kilometer sebelum pantai, jalanannya tidak mulus, namun tetap bisa dilalui oleh kendaraan roda empat.

Untuk lebih mudahnya, dari Panggang, kita bisa menyewa jasa ojeg motor karena tidak ada angkutan resmi yang bisa mengantar wisatawan ke tujuan. Setelah sampai di Pantai Gesing, kita akan disuguhi pemandangan Samudra Indonesia yang terbentang luas. Letak Pantai ini menjorok dan berada dibawah bukit. Kita bisa menikmati Pantai dengan turun ke bibir pantai atau sekedar menikmatinya dari atas karang.

Pantai Gesing sungguh elok rupawan. Jauhnya perjalanan tidaklah berarti dengan pemandangan dan kearifan lokal yang disajikan penduduknya.

Posted by Firmanto Hanggoro



Baca juga :
Melongok Ngunggah, Eksotisme Pantai Tersembunyi

Catatan Workshop KLJ, Fun Photography, Fun Writing bersama Anak-anak Hebat SD Alam Anak Sholeh Tarumajaya : "Barter Ilmu itu Seru!"

Lagi-lagi saya harus ke Bekasi. Spesial, selain bertemu dengan de koncoz Jurnal Khatulistiwa, kali ini bakal diadakan lawatan spesial sekaligus barter ilmu dengan adik-adik yang sangat bersemangat di Sekolah Alam Anak Sholeh yang juga memiliki sebuah rumah baca yang dinamakan Rumba HOS Tjokroaminoto. Tepatnya di Villa Mutiara Gading Blok E, Desa Setia Asih, Tarumajaya, Bekasi. Rencananya, agenda bakal berlangsung Sabtu-Minggu, 30-31 Mei 2015.

Keistimewaan kali ini dimulai dengan pencarian lokasi yang agak membingungkan. Meski saya udah pernah ke lokasi dan udah dibekali dengan peta ala GPS, dan tanya sana sini, tetap saja saya harus menyiapkan tenaga ekstra untuk rela berpanas panas ria dengan iklim Bekasi yang lain dari biasanya. Tak apalah, sesuatu yang layak memang patut diperjuangkan, hehe.. Apalagi pas melihat Bang Agustian, si founder Sekolah Alam Anak Sholeh terlihat berdiri menyambut dan menunggu kami di dekat pintu gerbang sekolah, rasa lega segera menjalari saya. Bukan apa apa sih, merasa bersalah juga tak bisa datang tepat waktu. Untung Bang Agustian nya baik, untung disiapin minuman, untung dikasih tempat, untung…. banyak :)

Workshop Kamera Lubang Jarum dari Instruktur Muda

Siang itu, kawan-kawan dari Jurnal Khatulistiwa dan Bekasi Foto hadir bersama untuk mengikuti rangkaian acara yang telah disepakati dengan pihak Bang Agustian dari Sekolah Alam Anak Sholeh dan jaringan Sekolah Raya. Serunya, kami datang bukan saja sebagai kakak-kakak yang akan menyampaikan materi fotografi dan menulis saja, tapi kami juga datang untuk menerima sharing ilmu dari para instruktur muda Kamera Lubang Jarum (KLJ). Apa tuh KLJ? Kamera sederhana yang terbuat dari kaleng bekas yang kemudian dilubangi dengan jarum dibantu dengan lakban hitam.

Usut punya usut, ternyata KLJ ini telah menjadi salah satu kurikulum dalam pembelajaran SD Alam Anak Sholeh. Lah kok bisa? Bisa dong, karena KLJ secara langsung mengajarkan proses pembangunan karakter dari awal pembuatan hingga karya finalnya. Selain unsur mata pelajaran seperti Fisika, Kimia, dan Matematika, seperti mengatur jarak foto untuk mendapatkan cahaya yang pas, mencampur cairan untuk bisa mencetak hasil foto, dan keasyikan yang lain.

Dari Jurnal Khatulistiwa saat itu ada saya, Enno, Erlangga ‘Botak’, Rafly, Rio, Ucup, Rahmat, Arif ‘Cimba’, Adit, Tyas, serta Sena. Kami semua bergabung dengan kawan-kawan dari Bekasi Foto yang saat itu diwakili Bang Guts, Iddin, Heru, juga Syahrul ‘Buluk’. Semuanya antusias mendengarkan pengarahan dari adik-adik trainer, Ikhsan, Maulana, dan disusul Nugraha. Kami kagum bukan saja karena mereka yang secara usia masih muda sudah mampu berbagi ilmu dengan kami yang lebih dewasa, tapi lebih dari itu. Kami begitu mengapresiasi prestasi yang sudah mampu ditorehkan. Seperti Nugraha yang pada usianya yang masih 15 tahun sudah dinobatkan sebagai instruktur muda oleh Komunitas Lubang Jarum Indonesia. Begitu pula Ikhsan, dan beberapa kawannya yang lain yang sudah pernah mengadakan lawatan ke Malaysia untuk berbagi tentang KLJ di Permata Pintar, Universitas Kebangsaan Malaysia, sekolah setingkat SMA disana.



“Potong persegi empat kecil, lalu di-ampelas sampai tipis, Kak..”, Ikhsan berujar lantang. Nada suaranya kuat, sudah pantas kalau disebut instruktur dan cukup membuat kami yang sebagian besar masih awam tentang KLJ menjadi terheran-heran. Setiap hendak meyakinkan diri tentang kelayakan lempengan aluminium yang sedang kami tipiskan untuk digunakan sebagai rana, kami selalu bertanya, “udah belum, dik?”, Jawabannya, ,”Belum nih ka, dikit lagi” atau “Wah,sip sip udah.”. Saya geli sendiri sambil bergumam dalam hati, cerkas juga nih anak.

Usai membuat KLJ yang bisa dibuat dari kaleng bekas sebagai bodi kamera, lempengan aluminium sebagai rana, dan lakban yang menjadi penutup rana, kami pun mengisi kamera yang kami buat dengan kertas fotonya di ruang gelap yang disebut dark room. Sementara itu, Ikhsan mengajarkan membuat cairan untuk digunakan mencetak hasil foto. Saya yang memang kurang nyambung dengan hal-hal berbau teknis, cuma manggut-manggut pura-pura mengerti. Hahaha.. Yang penting tahu prosesnya.

Yang paling seru adalah saat praktek memotret. Kami jadi menemukan alasan kenapa foto-foto jadul selalu berwajah tegang dan flat face. Kenapa emang? Ternyata mereka harus menunggu 10-20 detik untuk bisa dipotret. Posenya harus dipertahankan selamaaaaaa itu, karena faktor cahaya saat pengambilan foto. Kami pun ngakak ngakak karena geli menahan pose juga. Wkwkwk. Betapa bersyukurnya kita dengan kecanggihan teknologi saat ini ya..


Workshop Fotografi dari Bekasi Foto dan Diskusi Teras

Agenda dilanjutkan dengan workshop fotografi dari Bekasi Foto yang disampaikan oleh Bang Guts Wateva. Kali ini, adik-adik yang udah sangat fasih tentang KLJ dan sedikit dasar fotografi yang kurang lebih nyambung, diajak untuk mengenal apa itu fotografi dan bermain-main dengan kamera DSLR. Dibagi beberapa kelompok, mereka asyik bereksplorasi berbagai gaya memotret didampingi kakak-kakak pendamping. Ada yang takut megang kamera karena berat dan takut jatuh. Ada yang nggak mau megang sama sekali karena pesimis nggak bisa, ada yang nyengir kegirangan karena jadi obyek foto, ada yang nggak mau berhenti motret meski waktu udah habis, dan tingkah unik yang lain. Ya, begitulah mereka. Bagaimanapun mereka masih tetap anak-anak, hehe… Di akhir workshop, Bang Guts menyampaikan bahwa kalau melakukan semuanya dengan cinta, termasuk cinta dengan dunia fotografi, maka uang adalah dampak positif yang lain yang bekerja secara otomatis. Hm, interesting!

Lepas workshop tersebut, kami diajak Bang Agustian untuk berdiskusi santai di teras Rumba HOS Tjokroaminoto dan sekaligus ditraktir nasi goreng, yey! Bang Agus berkisah bahwa dulu awal-awal mendirikan sekolah ini bermula dari 2006, masih ada anak-anak yang mengintip dari jendela sekolah luar, untuk melihat proses belajar di sekolah. Untuk apa? Karena mereka sendiri tak bisa menikmati kemewahan itu. Keterbatasan ekonomi orang tuanya yang sebagian besar bekerja sebagai buruh, pembantu rumah tangga, pemulung, atau pekerjaan serabutan lainnya cukup menjadi alasan utama ketidakberdayaan mereka mengenyam bangku sekolah.

Bermula dari itulah, Bang Agustian bersama beberapa kawan baiknya mencoba memberikan alternatif pendidikan yang gratis tapi berkualitas bak sekolah-sekolah unggulan. Dan, alhamdulillah, berkat dukungan relawan dan semua pihak termasuk Jaringan Sekolah Raya yang merupakan afiliasi penggiat sekolah, sanggar belajar, padepokan, pondok pesantren, taman baca, dan komunitas belajar, misi ini bisa berjalan lancar dengan segala dinamikanya. Diskusi santai berlangsung akrab dan cukup membuat kami semua yang ada disitu merenung. Meminjam istilah Bang Agustian, akan ada dialektika alam semesta yang senantiasa mendengar dan mengabulkan doa sang penabur kebaikan. Jadi, jangan ragu!


Workshop ‘Fun Writing’     

Selepas menginap semalam, keesokan harinya, saya ditemani Bang Nana dari Bekasi Foto melanjutkan agenda yang tersisa. Tak seramai kemarin, karena beberapa kawan-kawan Jurkhat harus segera naik kapal untuk menjalankan tugas berlayar di event akbar Ekspedisi Nusantara Jaya. Viva kawan! Namun, tak kalah serunya, Minggu (31/05) itu, kami kedatangan kawan-kawan baru dari jaringan Sekolah Raya. Ada kawan lama saya, Anwar dan istrinya yang juga Direktur program Sekolah Raya, Nana Zuri. Ada pula Salman dari blogfam, juga Ade dan Dias.



 
Diawali dengan pemutaran film berjudul ‘The Turtle World’ yang berisikan pesan lingkungan, saya pun bermain-main dengan adik-adik dan kakak-kakaknya untuk menuliskannya kembali dengan bahasa mereka disertai dengan gambar-gambar yang paling diingat. Hasilnya, bisa dilihat di rumba, jadi salah satu pajangan dinding:) Selepas itu, adik-adik saya ajak untuk mengenal basic penulisan 5W + 1H dan bereksperimen dengan karya foto KLJ mereka. Tujuannya, supaya mereka bisa membuat fotonya lebih bercerita. Menurut saya sih, mereka udah punya basic menyusun kata-kata yang bagus, cuma perlu dirapikan sistematikanya aja. Semoga ke depan, mereka bisa membuat semacam informasi kekinian tentang aktivitasnya di sekolah dan rumba, bisa berupa mading, buletin, atau dalam bentuk elektronik semacam blog. Semangat!

Akhirnya, diakhiri permainan ‘angin bertiup’ dan santapan makan siang yang maknyus di homestay relawan yang lagi-lagi disiapkan oleh Bang Agustian dan istri yang baik hati, tidak sombong, dan rajin menabung, eh….hehe… kami semua pun berpisah dan saling bertukar kontak untuk bisa bertemu lagi di agenda selanjutnya. Thanks for everything untuk jaringan Sekolah Raya dan SD Alam Anak Sholeh, Rumba HOS Tjokroaminoto, Bekasi Foto, dan semua pihak yang udah ikut meramaikan. Senangnya bisa berbagi:)  ('thil)

 
Posted by Prita HW
**Dinukil dari dunia gairah
 
Baca juga di :
 

Ekspedisi Nusantara Jaya Disambut Antusias Berbagai Komunitas

**Dinukil dari Jurnal Maritim Online


Ekspedisi Nusantara Jaya Disambut Antusias Berbagai Komunitas
Ilustrasi - Ekspedisi Nusantara Jaya
JMOL – Ekspedisi Nusantara Jaya (ENJ) 2015 yang akan berlangsung bulan Juni 2015 mendatang mendapat antusias dari berbagai komunitas baik maritim maupun non maritim. Sejauh ini di antara perwakilan mereka telah mendaftarkan kepada email yang tertera di Jurnal Maritim. Menurut Sekretaris komunitas penggiat alam Jurnal Khatulistiwa, Airlangga, komunitasnya saat ini tengah melakukaan pendataan kepada anggotanya untuk mengikuti ekspedisi ini.

“Kita telah mendata beberapa anggota kita untuk mengikuti kegiatan ini. Kita sangat antusias sekali untuk mengikuti ekspedisi ini karena event ini akan memberikan pengalaman tersendiri dalam mengenal Indonesia dan wawasan kemaritiman,” ujarnya kepada Jurnal Maritim beberapa hari lalu.
Pria yang biasa disapa Angga ini lebih jauh menuturkan bahwa kegiatan ini sangat baik dalam menumbuhkan jiwa maritim khususnya bagi para pemuda.

“Tentunya event seperti ini sangat baik sekali, karena memang kita sebagai negara maritim maka perlu pengenalan maritim kepada generasi muda,” ungkapnya.
Jurnal Khatulistiwa merupakan komunitas yang bergerak di bidang penggiat alam baik darat maupun laut yang memiliki motto ‘Menelusuri Indahnya Nusantara’. Mengunjungi daerah-daerah di Indonesia merupakan aktivitasnya.

Senada dengan Angga, Wakil Ketua Generasi Maritim (Gen M) Andry Prasetyo menyatakan komunitasnya sangat tertarik sekali dalam mengikuti kegiatan ini.
“kita akan upayakan beberapa perwakilan dari anggota kami untuk mengikuti kegiatan ini,” tegas Andry.

Pria yang aktif dalam Pramuka ini juga tengah mensosialisasikan event ini kepada anak-anak binaannya. Namun, dirinya mengakui masih menyesuaikan dengan jadwal sekolah pada waktu pelaksanaan ekspedisi ini.

“Di bulan Juni anak-anak yang masih sekolah juga belum libur, padahal antusias mereka sangat besar. Tetepi saya berharap agar Kemenko Kemaritiman dapat memberikan dispensasi bagi peserta yang terbentur dengan jadwal sekolah agar mereka mendapat izin dari sekolahnya,” pungksanya.
Kendati demikian, Andry optimis paling tidak dirinya dan beberapa anak binaannya dapat mengikuti kegiatan ini. Memang berapa hal yang perlu diperhatikan oleh penyelenggara ialah mengenai perizinan kepada instansi dari calon peserta. Terutama bagi yang masih duduk di bangku SMU atau kuliah.

Saat ini sudah 30-an calon peserta ENJ yang mendaftar di email Jurnal Maritim. Kesempatan mendaftar pun masih terbuka bagi para calon peserta yang berminat mengikuti ENJ 2015. Jurnal Maritim bersama dengan Asosiasi Pemuda Maritim Indonesia (APMI) tengah dipercayakan oleh Kemenko bidang Kemaritiman dan Komando Lintas Laut Milter (Kolinlamil) untuk mengurus pendaftaran ENJ 2015.**


Baca juga catatan ENJ 2015 di :

ENJ 2015 Goes To Makassar Day 2 : "Sekarang Jalesveva Jayamahe, Dulu Biasanya Salam Rimba!"

ENJ 2015 Goes To Makassar Day 3 : "There Isn't Anything"

ENJ 2015 Makassar Day 6 : "Greetings From Kodingoreng Island"

 











Setahun Menjejak, Komunitas Jurkhat Adakan Syukuran

Prosesi Potong Tumpeng, Serta Pembagian Merchandise di Sela-sela Acara Setahun Menelusuri Indahnya Nusantara

Xplore Indonesia. Peringati Hari Ulang Tahunnya yang pertama, Komunitas Jurnal Khatulistiwa (Jurkhat) lakukan prosesi potong tumpeng sebagai simbol rasa syukur dapat menjalankan visi dan misi yang menjadi program kegiatan sepanjang tahun. Acara sederhana yang dihadiri para member Jurkhat itu berlangsung sangat meriah di Kedai Pendaki, Jakarta Timur, Minggu (02/08).

Prosesi Potong Tumpeng, Sebagai Rasa Syukur Menelusuri Indahnya Nusantara

“Ini sebagai symbol rasa syukur kepada Tuhan YME karena telah meridhoi kami menjalankan berbagai aktifitas yang telah menjadi program resmi komunitas ini,” ujar Founder Jurkhat Firman saat ditemui Xplore Indonesia di sela-sela acara.

Dirinya pun mengungkapkan tidak hanya prosesi potong tumpeng dan tatap muka diantara para member komunitas saja yang menjadi acara utama dalam perhelatan ini namun juga sebelumnya mereka melakukan aksi santunan kepada anak yatim di Pondok Pesantren Al-Khairat, Bekasi Timur.

Aksi Santunan Kepada Anak Yatim di Pondok Pesantren Al-Khairat, Bekasi Timur

“Alhamdulillah, kami bisa lakukan hal itu,” jelasnya.
Lebih lanjut Firman menjelaskan, sejak terbentuknya setahun lalu di Shelter Pendakian Palutungan Taman Nasional Gunung Ciremai Jawa Barat, mereka sudah melakukan berbagai aksi baik itu dalam hal konservasi alam, olahraga hingga aksi kemanusiaan.

Jurnal Kantulistiwa
Jurnal Kantulistiwa

“Sejak terbentuknya, Jurkhat senantiasa berusaha membuat berbagai aksi dan program yang kerap didukung dan dijalankan para member seperti aksi tanam bakau di Pulau Rambut, Reboisasi Gunung Lawu, Lomba Kebut Gunung di taman Nasional Gede-Pangrango hingga aksi kemanusiaan meembantu korban bencana tanah longsor di Banjarnegara, Jawa Tengah,” paparnya.
Dirinya berharap para member Jurkhat senantiasa mendukung berbagai aksi dan program selanjutnya demi memberikan banyak kontribusi di masyarakat.

“Kami berharap, tema “Setahun Menjejak” ini menjadi spirit bagi kami untuk senantiasa menciptakan dan memberikan hal-hal yang bermanfaat bagi para member dan masyarakat luas,”, pungkasnya (erl)


**Baca juga di Xplore Indonesia



Rabu, 30 Desember 2015

Teknik Berjalan pada Waktu Mendaki Gunung

Mendaki gunung pada dasarnya adalah olahraga berjalan, di mana medan yang dilalui sangat berbeda dengan yang kita lalui sehari-hari. Ditambah beban yang ada dipunggung maka kita dituntut untuk menguasai teknik menjaga keseimbangan dan berjalan di pegunungan dengan benar.
 
Berjalan di pegunungan bukit yang curam memerlukan keseimbangan yang prima. Gerakan mendadak seperti mengayun tangan dan melompat dapat berakibat fatal. Hati-hati dengan terpaan angin, berjalanlah tenang dan tidak kaku. Jangan memotong lintasan karena biasanya jalan setapak yang sudah ada mengikuti kontur alam sehingga tidak curam walau berkelok-kelok. Hapalkan lintasan tersebut agar mudah bila kehilangan arah atau pada saat kembali nantinya. 
 
Teknik lain berjalan di daerah curam adalah dengan lintasan zig-zag untuk menghemat nafas. Jangan memakai atau mengandalkan tumbuhan-tumbuhan kecil yang ada di tebing sebagai tumpuan karena biasanya banyak yang lapuk dan tidak cukup kuat untuk menahan beban, cukup dipakai sebagai keseimbangan saja.

Di medan berkerikil atau berbatu bulat atau tajam seperti sungai harus dilewati dengan melompat dengan cepat dari satu batu ke batu yang lain sebelum batu tersebut sempat bergulir. Namun bila kondisi badan sudah lemah sebaiknya diperiksa dulu posisi batuan tersebut kemudian melewatinya perlahan-lahan.
 

Tanah berumput basah karena embun dan hujan serta terdapat lumut dipermukaannya seringkali mengakibatkan tergelincir. Medan berlumpur dan becek menjadikan perjalanan menjemukan, lambat serta menguras banyak tenaga. Hal ini hanya dapat dihindari bila kita memakai sepatu dari jenis yang tepat untuk keperluan hiking.
 
Semak lebat sering menghalangi dan menghilangkan lintasan, bukalah semak dengan tebasan parang. Lakukanlah tebasan sesedikit mungkin untuk menghemat tenaga dan mencegah pengrusakan alam. Perhatikan pada waktu yang cukup lama untuk ditumbuhi rumput sehingga masih mudah ditemukan dengan sedikit menyibak semak. Lintasan yang kurang jelas biasanya jarang dilewati kecuali oleh penebang kayu.



Sungai memang tampak sebagai jalan yang mudah dilalui untuk cepat sampai ke bawah, tetapi mengikuti aliran sungai adalah tindakan yang berbahaya. Sungai di gunung seringkali melewai tebing dan air terjun yang curam sehingga sulit dilalui tanpa peralatan memanjat tebing. Banyak kecelakaan terjadi karena mengikuti aliran sungai. Bila terpaksa untuk mengikuti aliran sungai, misalnya pada saat tersesat, ikutilah dari tempat yang tinggi. Prinsipnya ikutilah lintasan yang berbeda di pegunungan asalkan aliran sungai tersebut masih dapat terlihat dan bukan di cekuk-cekuk di mana sungai tersebut mengalir.
 
Pada saat turun kondisi badan biasanya sudah lelah ditambah posisi badan yang seluruhnya mengarah ke bawah sehingga otot kaki mendapt beban ekstra, kemungkinan terkilir dan tergelincir cukup besar. Kencangkan ujung kaki agar ujung kaki tidak tergencet dan pergunakan tumit sepatu sebagai rem sekaligus tumpuan beban. Jangan berjalan doyong ke muka, usahakan berat tubuh tetap di tengah.
 
Cara lain adalah berjalan miring dengan tubuh doyong ke belakang segera dapat mengantisipasi keadaan bila terpeleset. Hati-hati bila berada di daerah kawah, daerah yang gersang tanpa tumbuhan dan bila ada gejala pening atau mual biasanya merupakan pertanda adanya gas beracun.
 

Hindari tempat tersebut dan segera carilah tempat dengan sirkulasi udara, sementara dapat digunakan kain yang dibasahi air dan ditutupkan ke hidung. Kadangkala gas beracun mengalir tidak terlalu tinggi dari permukaan tanah, kira-kira setinggi lutut. Gas ini biasa menyerang pada saat pendaki sedang duduk beristirahat atau tidur. Karena sifatnya yang tidak berbau dan berawan maka gas ini perlu diwaspadai terutama bila timbul gejala keracuna sesaat setelah istirahat. Segera cari tempat istirahat atau shelter lain di tempat yang lebih tinggi, terbuka dan sirkulasi udara yang baik.


Jangan terlalu berkonsentrasi pada gerakan kaki. Berjalanlah santai dengan pandangan ke depan sambil sesekali memperhatikan keindahan pemandangan sekitar. Kecuali pada tanjakan yang curam lebih baik arahkan pandangan ke tanah karena biasanya pandangan ke atas akan melemahkan semangat tanpa disadari akibat timbulnya kesan seolah-olah tidak segera sampai.
 
Berjalan harus mengikuti suatu irama yang tetap dengan langkah-langkah kecil. Langkah yang selalu lebar akan mempengaruhi keseimbangan karena berat badan sering ditunjang oleh satu kaki saja. Pendaki gunung berjalan lebih lambat dari ritme berjalan yang normal untuk menghemat nafas.


Kesulitan berbicara dengan teman selagi berjalan adalah pertanda berjalan terlalu cepat. Lebih baik berjalan lambat dengan istirahat yang sedikit daripada berjalan cepat dengan istirahat yang banyak pula. Saat beristirahat duduklah berselonjor dengan kaki sedikit diangkat di atas badan agar darah yang mengumpul di kaki dapat mengalir normal kembali.
 
Hindari angin secara langsung karena udara dingin cepat mengerutkan otot yang istirahat. Pori-pori yang terbuka akibat berkeringat akan mengakibatkan exposure (kehilangan panas tubuh) bila terkena angin (hawa dingin). Untuk menghindarinya usahakan memakai jaket pada saat beristirahat walaupun tubuh agak terasa panas. Jangan terlalu lama istirahat karena otot yang mulai mengendur akan memerlukan pemanasan kembali. Ukuran normal istirahat adalah sepuluh menit setiap berjalan selama satu jam.
 

Bila semakin lama anda membutuhkan waktu istirahat lebih panjang dengan interval di bawah satu jam maka berarti anda telah terlalu lemah. Selama istirahat perlu teknik pengaturan nafas untuk menghilangkan kepenatan dengan gerakan-gerakan ringan, misalnya menekuk badan ke muka ke belakang dan samping kiri kanan, mengambil nafas sekuat kuatnya, ditahan sejenak kemudian dihembuskan melalui mulut dengan berteriak. Teknik relaksasi seperti ini berguna untuk melepaskan kepenatan dan stres selama perjalanan.
 
Segera dirikan tenda (shelter) untuk istirahat panjang dengan lokasi datar, tidak berangin, dekat sumber air dan berada di tempat yang tinggi agar terhindar dari kemungkinan pengendapan gas racun. Secara psikologis tempat yang tinggi memungkinkan kita untuk melihat dan menikmati keindahan pemandangan alam pegunungan yang sangat luar untuk mengurangi kelelahan phisik dan mental. Selama beristirahat alangkah baiknya meminum air hangat, seimbangkan ( sesuai ) dengan keringat yang telah dikeluarkan. Tambahkan sedikit garam untuk mengganti mineral yang keluar bersama keringat dan untuk otot. Makanlah makanan kecil seperti biskuit dengan kadar hidrat arang yang tinggi untuk menambah tenaga. Tapi hal ini sangat tidak disarankan bagi para penderita tekanan darah tinggi ( hipertensi ).
 
Selama dalam perjalanan buanglah bungkus permen, puntung rokok atau sampah lainnya ke dalam tas plastik agar tidak mencemari lingkungan pegunungan. Sedapat mungkin lakukanlah sweaping sampah yang ada di sepanjang jalan dengan demikian kita telah turut berpartisipasi untuk menjaga kebersihan, keindahan dan kelestarian lingkungan kawasan pegunungan.

Salam Lestari, Semesta Merestui............... 

*dariberbagaisumber

 Posted By : Firmanto Hanggoro

Kopdar #13 dan Workshop Jurnalistik Travelling, Fotografi Travelling, Pemutaran Film bersama Anak-anak Sumur Batu


Tanggal 17 dan 18 April 2015 kemaren gue ngikut kopdar #13 komunitas Jurnal Khatulistiwa berkolaborasi dengan komunitas Bekasi Foto, mengangkat tema “Fotografi Traveling” dan ”Jurnalistik traveling”. Juga agenda tambahan dari Bekasi Foto, yaitu pemutaran film bersama anak-anak Sekolah Alam Tunas Mulia. Bertempat di Sumur Batu, Bantar Gebang.

Firman yang juga founder Jurnal Khatulistiwa kebetulan rumahnya sekabupaten sama gue tapi agak jauh, dia berbaik hati (re: gue maksa minta jemput) jemput gue dirumah trus lanjut kerumah dia lagi untuk berganti kendaraan mobil menuju alun-alun Bekasi yang saat itu jadi titik kumpul kali ini. Sebelum ke alun-alun, gue diajak Firman makan mie ayam brewok yang kata dia udah dagang sejak dia SD. Katanya enak. Tapi kayaknya yang ini sori man kita beda pendapat, mie ayamnya biasa aja. Sesampainya di alun-alun, tas tos sama anak Jurkhat yang sebagian belum gue kenal, tanpa menunggu lama gue sama Firman ditambah Nana, jurkhater lainnya, berangkat menuju Bantar Gebang. Kita juga janjian sama Kosim di belokan pom bensin Bantar Gebang. 45menit berlalu dan sampailah kita walaupun nggak ada tulisan “Selamat datang di Bantar Gebang”, tapi gue tauuuuuukarena daerah yang fenomenal ini memiliki bau yang khas. Yap betul! Bau sampah.
Sebelumnya gue udah sakit kepala, mungkin karena shock kucing gue abis mati digigit kucing lain yang beda ras. Iya rasis tuh kucing.Balik ke Bantar Gebang, sekolah alamnya nggak seburuk yang gue bayangin, ada apa ya namanya, jadi dari kayu gitu terbuka lega lagi, cukuplah buat rebahan orang-orang.
Sdit yg lagi udud njelasis sejelasjelasnya soal ENJ2015
Dibuka sama Adit yang bahas soal  Ekspedisi Nusantara Jaya2015 sambil nunggu Guts Wateva, pemateri “Fotografi Traveling” yang katanya dari Bandung tapi sepertinya tidak ada tanda tanda muncul, baunyapun tak ada. Selesai Adit bahas ENJ2015, Guts datang dengan temannya yang gue lupa namanya tapi hafal setiap lipatan di tangan dan kakinya.Guts datang nggak langsung kasih materi.Kasih istirahat dulu kali yak.Sambil nunggu, disetelin film dokumenter beruang boleh deh, dapet dari discovery channel, kata Erlangga yang biasa dipanggil Botak yang kebetulan lagi jadi operator laptop.Lumayan bikin gue anteng nontonnya.
Belum selesai film beruangnya, diganti sama Guts dengan film dokumenter. Sambil nonton film yang nggak ada terjemahannya itu tiba-tiba gue ilang dan nggak lama melek dengan semua orang lagi grak grok grak grok ngorok. Baiklah mungkin mereka semua lelah, mungkin bau sampah yang menggunung nggak jauh dari pendopo………. --NAH! PENDOPO!!!! Nama bangunan ini pendopo yang tadi gue bilang gue nggak tau namanya. Tau nih tiba tiba muncul-- bikin mereka mendengkur begitu merdunya swiiiiiing grok grok swiiiiing. Tapi ternyata udah pagi yah, terdengar Firman dari jauh teriak, “No, ayo No, ikut liat sunrisenggak ?!” Gue dari sini sambil ngucek mata yang ada circle eyenya ini pun menjawab, “Enggak, masih ngantuk!!”, terus gue ngilang lagi. Dan melek lagi dengan langit yang lebih sedikit terang ngorejat, langsung bangun kekamar mandi buat mandi dan bersih diri.
Kayaknya juga gue nggak ketinggalan kalo mau nyusul yang katanya summit attack di gunung sampah.Selesai mandi langsung gue nyusul. Waaaah iya anak-anak masih di puncak sana , tertancap bendera merah putih.
Treking di atas tumpukan sampah
Firman teriak lagi, “Lewat samping, lewat samping, No..”. Nengoklah gue ke samping kanan, alamakjaaang nggak ada jalan. Oh, ternyata gue salah jalan. Baiklah gue nyusul Firman dan yang lainnya sambil menutup idung. Sesampainya di atas yang dibilang puncaksama semua orang, semuanya bersorak seolah gue baru aja sampe di puncak gunung. Malah Guts bilang “No, tadi semua kita sujud sukur disini, kok lo enggak ?”, hahahahaaaaaa nggak bisa nahan tawa cablak gue, sujud sukur di atas gunung sampah.. Apa yang gue lihaaaaaaaaaat itu dia sekitar 4-6 hektar, maap kalo salah karna gue nggak bawa alat ukur. Itu sampah semua. Sempet terpikir mau diapakan ini sampah, tapi gue berusaha mengalihkan karna takut tambah bikin gue sakit kepala, apalagi masih inget sama kematian popoy(kucinggue) yang sampe sekarang aja gue masih belum bisa percaya. Lebay emang tapi ya #gituguemahorangnya ama binatang aja sayang … lama lupanya… apalagi sama kamyuuuuu
Foto-foto nggak pernah kelewat tiap gue ketempat baru, termasuk tempat yang isinya bekas semua kayak gini, juga tetep harus poto.Setelah selesai, langsung turunlah kita semua dengan gurauan-gurauan yang seolah olah kayak baru summit di gunung beneran.Seru juga ya. Tapi pusing bau sampah, “Mulut lo deket idung kali, No!”, teriak Firman. Dalam ati mikir, eh dalam ati ngomong sambil dikepala mikir, iya kali gue sikat gigi pake pasta gigi dari hotel yang entah dari kapan ada di wash bag.
yg pake buff Guts, yg bersongket Firman
Agenda kita hari Sabtu tanggal 18 yaitu materi fotografi dan jurnalistik traveling yang semalem udah pada ngantuk duluan.Dilanjut dengan pemutaran film anak.Tapi karna masih pagi santai santai dulu deh, gue dan sakit kepala gueyang dari semalem nggak pergi pergi ditambah lemes cuma bisa tiduran di pojok…. --ahh apaan tuh gue lupa lagi namanya-- mau tidur dulu dengan harapan kalo gue bangun sakit kepala dan lemesnya ilang. Eh, tapi si Firman pamit mau pulang kerumahnya buat anter mobil yang mau dipake keluarganya ke Garut. Tapi sebelum gue tidur, ada guru PAUD Sekolah Alam Tunas Mulia yang nyamperin ke pendopo, disangka kita mau ngisi waktu kosong anak-anak PAUD.
“Nah No, nah No..”Duuuuh, gue ga pernah nganuin anak kecil.Tapi ya udahlah sedikit hiburan. Sedikit banget, karna gue masuk lingkaran cuma kenalin diri gue terus gue lempar lagi ke Risky, anak  Bekasi Foto, hahahaha… Maapin kakak yang bingung mau ngapain adek-adek berbaju olahraga merah kuning  ijo dilangit yang biru pelukismu agung terang lucu lucu kayak candil tinggal kasih kelapa parut sama gula.
Waaa..gue berhasil tidur dan bangun dengan perut yang lafaaaaar tapi sakit kepala nggak ilang ilang. Firman juga belom dateng lagi. Eh, tapi pada kemana orang-orang??? Oh, pindah keperpustakaan yang berseberangan sama pendopo…… Nah,pendopo !!!Baru inget lagi gue. pendopo pendopo pendopo pendopo *ngafalin biar ga lupa* .disana sudah bersiap siap Guts memberikan materi fotografi rupanya, guepun menyusul dengan es teh manis dan bakwan boleh beli bayarnya entar kalo nggak lupa yang ada di warung kecil deket-deket perpustakaan. Sambil Guts kasih materi sambil gue makan bakwan. Materi fotografi traveling ini dirasa dapat membantu awak jurkhat yang akan mengikuti ENJ2015 juni nanti. Guts udah mau selesai tapi Firman belum datang juga.
Guts waktu kasih materi
Ngutang materi nih Firman! Mudah-mudahan sebelum dia berangkat ke Milan udah bayar utang. Masa kita nunggu setahun, Man??!!Sementara pemutaran film “Cahaya dari Timur” berlangsung, gue balik lagi ke pendopo, selonjoran lagi, tiduran lagi bak tai males karna sakit kepala ini tak kunjung pergi. Sepertinya makin jadi sakit kepala gue ini, balik kanan kiri tengkurep celentang nungging tengkurep jengjet…. nggak ilang.
Bang dop atau dope atau D.O.P(direct of photography) atau dove (shampo wangi yg melembutkan rambut) abaikan ejaan namanya, begitu gue denger dia dipanggil dop atau dope atau…. Ah, sudahlah. Bang Dop manggil gue buat bikin 16 kuis tentang film yang diputar buat anak anak Sekolah Alam Tunas Mulia yang hadiahnya kaos bersablon Bekasi Foto, selebihnya gue lupa. Baiklah gue buat 16 pertanyaan seputar film.Singkat waktu film selesai diputar, gue masuk bawa 16 kaos dan sedikit mengalihkan perhatian anak anak itu.Mungkin dalam pikiran mereka, gue mau jualan kaos, mungkin mau bagi bagi, mungkin ini hadiah kuis. Yap, hadiah yang bener!
oh ayah wajahku kenapa mirip denganmu hfft
Satu persatu pertanyaan terlontar dan gue dengan gaya gue yang kaku karna ternyata susah bawa acara anak-anak dibanding seumuran gue atau lebih, belum terbiasa aja. Mudah mudahan seru karnasama anak-anak … 
Ohhhhh! Gimana biar mereka ketawa, gimana biar mereka lebih antusias, atau emang mereka semua nggak suka ketawa atau gue yang…. yang nggak bisa bawa suasana dikota santri asik tenangkan hatitapi bener deh gampangan bawa acara yang orang-orangnya lebih dewasa atau sepantar sama gue. Karna gue nggak bisa bergaya kayak Kak Nunu atau Kak Seto atau Kak Ria Enes atau Tatang dengan cepot di tangannya. Tapi, alhamdullillah mereka sedikit terhibur.Kali. 
Akhirnyaaaaa selesai juga… Setelah itu, kita berfoto-foto ria lagi dengan anak anak Sekolah Alam Tunas Mulia dan temen temen Jurkhat. Beres beres di pendopo bentar, kemudian kita pamitan.
Jujur itulah kali pertama gue berinteraksi dengan anak anak. 
Seru, nervous, keringetan.Tapi terimakasih Jurnal Khatulistiwa dan Bekasi Foto yang udah bikin acara ini.
Posted By : Enno
Baca juga disini