Kamis, 31 Desember 2015

Pesona Dieng dalam Episode Kejar Tayang



Setiap perjalanan selalu menyimpan kisahnya sendiri sendiri. Begitu pula perjalanan menutup hari libur lebaran 2015 yang lalu. Late post banget, kan saya! Daripada tidak sama sekali. Baiklah:)
Dari Jember, tanggal 21 Juli sekitar pukul setengah satu siang, menggunakan bus sendirian, saya sampai di Semarang sekitar pukul setengah 2 dini hari yang sudah masuk tanggal 22 Juli. Lupa lagi kalau di mess tempat saya tinggal yang juga kontrakan bersama teman teman kantor di luar Semarang, masih sepi dan nggak ada yang buka pintu. Walah! Akhirnya saya memanjat pagar besi yang ukurannya sedang sambil tengok kanan kiri. Duh,alhamdulillah misi sukses. (tepokjidat!)

Tidur sebentar, pukul 8 pagi saya sudah siap siap untuk berangkat mempersiapkan perjalanan ke dataran tinggi Dieng, terletak diantara dua wilayah kota Wonosobo dan Banjarnegara, Jawa Tengah. Harusnya sih berangkat bareng dengan 15 teman yang lain, tapi berhubung saya yang udah pernah ke Dieng, meski ini kedua kalinya, jadi was was kalau kalau nggak bisa kebagian tempat menginap, entah tenda ataupun homestay. Maklum, libur masih berlangsung kan..

Bersama dua orang teman yang saya ajak, bus menuju terminal Wonosobo yang seharga 40 ribu per orang itu berjalan lambat, bahkan sempat tersendat-sendat saat jalan menanjak. Akhirnya sekitar jam setengah 3 sore saya dan dua kawan sampai. Harusnya menggunakan bus kota Dieng Express yang cuma 25 ribu per orang, tapi dari jam 12 siang, ternyata cuma baru kami bertiga penumpangnya. Sedangkan kursi berjumlah 20 orang. Sampai nego berlangsung pun, kalau harus membayar 350 ribu untuk bertiga, tetap kemahalan. Alhamdulillah, kami menemukan alternatif lain. TAXI. Dengan argo, kami sampai dengan selamat di kompleks wisata Dieng Plateu dengan nominal 180 ribu. Lumayan banget dah..

Saya langsung mencari informasi. Ternyata persewaan tenda sudah habis. Tinggal pilihan homestay. Dengan informasi dari mas pemilik Dieng Pass semacam hotel yang letaknya paling depan di kompleks itu sepenglihatan saya, kami mendapat harga yang murah untuk ukuran ber-16 orang dan menguasai satu rumah. 800 ribu untuk tiga kamar, lengkap dengan ruang tamu, ruang keluarga, dan dapur yang berisi beras, mie, gula, kopi, dan juga segalon air putih. Legaaaa.. Artinya rombongan kami aman.

Malam sekitar pukul 8, kami menunggu rombongan sambil menikmati semangkok mie ongklok. Makanan khas Dieng yang semacam mie instan atau mie kuning dengan bumbu khusus. Rasanya susah digambarkan, lebih baik langsung datang buat mencoba. Meski untuk mencobanya pun, kita perlu referensi mie ongklok di warung mana yang paling enak. Karena tentu saja, banyaknya warung disini membuat kita harus selektif. Harga juga rasa. Ya sekitar 10 ribu sampai 30 ribu sekali makan kira kira. Lengkap dengan segelas minuman hangat atau yang lain.

Setelah 14 orang lain yang menumpangi dua mobil rent car dari Semarang tiba, dan acara makan makan selesai, kami pun menggelar family day semacam ajang curhat saling mengenal antar satu dengan yang lain. Hoammm. Yang penting, jam 02.30 semua harus bangun buat memulai petualangan ya, pesan saya yang sudah dengan susah payah sampai duluan dan membuat jadwal episode kejar tayang ala sinetron FTV buat mereka semua.

Waiting for The Golden Sunrise Sikunir

Tepat jam 03.00 kami semua siap. Ditemani dengan sang guide yang juga pemilik homestay nya. Normalnya sih jasa guide sekitar 50 ribu tapi dua tahun lalu, baik mengawal individu maupun kelompok. Tapi kali ini saya mematok fee 100 ribu buat si bapak meski dianya meminta sukarela. Tujuan utama tentu sunrise Sikunir di Desa Sembungan.

Karena ini pengalaman kedua saya berkunjung ke Dieng, mau tak mau saya kembali memanggil memori lama saya. Apalagi kalau bukan membandingkan suasana dulu saat pertama datang, dan saat ini. Dulu, tulisan SIKUNIR yang gagah seolah menjadi pelambang masuk desa dan kerap digunakan berfoto itu, baru saja selesai dibuat dan masih kinclong. Kini terlihat catnya sudah beberapa memudar. Area parkir pun meluas, beda dengan dulu yang apa adanya. Sekarang, Sikunir memang tak terbantahkan telah menjadi tujuan utama untuk melihat sunrise bagi siapa saja yang berpelesir menikmati tempat wisata dataran tinggi Dieng, minus pilihan mendaki gunung ke puncak Prau pastinya.

Saya dan 15 orang lain pun terpencar-pencar dalam beberapa kelompok. Jalanan menuju puncaknya yang memang serupa bukit ini pun berganti suasana seperti sedang pembukaan pameran pada hari pertama, berjalan menyemut atau padat merayap. Jalanannya sudah banyak dilewati sehingga tak seasing dulu yang kanan kirinya tanpa pagar. Sesampai di puncak Sikunir pun, lautan manusia juga memenuhi beberapa sisinya. Sehingga kita pun harus mencari strategi untuk mendapat tempat terbaik menanti sunrise. Ya, akhirnya saya menemukan tempat.

Katanya, kemarin-kemarin matahari terbit yang menawarkan banyak keindahan dan kekaguman saat melihatnya sempat malu-malu muncul atau tidak muncul sama sekali karena cuaca yang tidak pasti. Tapi, alhamdulillah pagi ini, lain dari pagi yang kemarin. Mula-mula samar, kemudian berwarna jingga oranye persis seperti warna eye shadow di atas mata yang menawan, membentuk garis indah. Dan berakhir sempurna, bulat dan kuning terang. Semuanya sibuk memainkan kamera, mengucap syukur, menghitung mundur, dan aneka respon lain.  

 

Semua wajib turun jam 6 yah, begitu pesan saya ke mereka semua. Menuruni Sikunir, banyak terdapat warung yang bisa dijadikan tempat bersantai sejenak barang menghela nafas dan menghangatkan badan dengan segelas kopi atau teh hangat. Terlihat Danau Cebong bagai sekumpulan air dalam wadah plastik yang sengaja diturunkan ke bumi. Siluet matahari pun makin menambah menariknya obyek tersebut. Biasanya juga ada yang berkemah di tepiannya.


Sembari menunggu yang lain, saya juga memperhatikan kegiatan orang lain, terutama warga sekitar yang saya rasa merasa berkelimpahan berkah dengan banyaknya orang yang datang. Itu terlihat dari semangat yang muncul di wajah-wajah yang selalu tersenyum menyambut kami, para turis domestik, dan beberapa turis internasional. Baik itu penjaja warung, tukang parkir, penjual pelengkap penghangat tubuh, guide, sampai pemuda-pemuda desa yang terlihat menyuguhkan hiburan musik ala pengamen jalanan dengan apa adanya atau beberapa kostum unik. O iya, karena dataran tinggi Dieng ini juga kaya hasil pertanian, banyak juga sayur mayur yang dijual di jajaran warung tadi. Mulai dari kentang unyil karena bentuknya yang kecil, terung Belanda, dan lainnya. Cocok buat oleh-oleh:)



Berpelesir di Tujuan Lain 

Tak lama saya kembali ingat jadwal kejar tayang yang sudah saya buat. Ngapain keburu-buru, sih? Ini berhubungan dengan biaya rent car yang membengkak bila kami serombongan tak sampai Semarang tepat waktu malam nanti. Bisa gawat!

Setelah menelpon beberapa orang, menyambungkan dari mulut ke mulut tentang rombongan yang belum kembali ke mobil, kami langsung tancap gas menuju tujuan berikutnya. Harus selesai sebelum jam 12 siang, duh! Sebenarnya ada Dieng Plateu semacam gedung teater yang menyuguhkan sejarah tentang Dieng, tapi karena keterbatasan waktu, kami memutuskan tak mampir kesana. Dua tahun lalu saya juga belum mampir, hm sial memang.

Kami memilih agak sedikit berjalan menanjak menuju bukit ratapan angin, persis di belakang Dieng Plateu dan melewati ladang pertanian warga. Saya asli terkaget-kaget melihat tempat yang dua tahun lalu masih jadi spot tersembunyi. “Hanya beberapa orang aja mbak yang tau tempat ini. Biasanya fotografer yang ingin mengambil pemandangan Telaga Warna dari atas, baru kita pandu.”, itu kata-kata guide saya dulu yang masih saya ingat dengan jelas. Memang landscape Telaga Warna dan sebagian besar dataran tinggi Dieng tertangkap sempurna dari sini.


Tapi siapa yang menyangka kalau saat ini, tempat yang hanya mengandalkan satu atau dua pijakan kaki untuk berfoto di atas bongkahan batu tebing ini, dengan tanpa pengamanan secukupnya apalagi ketat, mendadak dikarciskan dan juga menjadi jujugan wisata. Alamakjang! Saya berkali-kali mengelus dada. Tak menyangka kalau hanya dalam jangka waktu dua tahun saja, arus perubahan begitu terasa. Kami membayar 10 ribu per orang dan diijinkan begitu saja masuk. Antri ya, hanya itu pesannya. Sesampai disana, tak ada petugas apapun. Ada semacam saung beratap untuk menunggu, dan kemudian sekenanya, orang antri diantara bongkahan batu. Haduh, saya yang terpaksa jadi pasukan pengaman dadakan. Memegang tangan beberapa anak kecil yang bergantian berfoto dengan orang tuanya. Menurut saya, ini sih nekat. Tak seimbang atau terpeleset sedikit, langsung terjun bebas, deh. Untungnya, hari itu, hanya sepatu anak kecil yang terjun bebas. Hmmmmm…



Selanjutnya, tujuan kami langsung ke arah kawah Sikidang, hanya sebagian kecil dari berbagai kawah yang ada di dataran tinggi Dieng. Setelah parkir, saya dan beberapa kawan yang masih semangat berjalan, sedang yang lain malah berleha-leha di mobil dengan alasan capek (huft!), langsung disambut hawa belerang yang menyengat. Terutama ketika makin lama makin dekat dengan kawah. Bila angin berhembus, hawa belerang makin kuat menusuk. Makanya banyak yang menawarkan masker di spot tersebut.

Baca selengkapnya disini

Posted by Prita HW

Tidak ada komentar:

Posting Komentar