Semilir lembah nan sejuk menyambut kedatangan kami di Desa Bukit
Pintu Angin. Hari belum terlalu siang, namun sengatan matahari terasa
sekali membakari kulit.
Camcorder di tanganku mulai merekam suasana.
Gunung Burangrang, 2064 mdpl, dengan empat puncaknya yang terjal dan curam
menantang setiap pendaki untuk datang.
Desa Bukit Pintu Angin 1480 mdpl) merupakan gerbang masuk jalur pendakian menuju Gunung
Burangrang dan Gunung Tangkuban Parahu dari arah Cimahi, Bandung, Jawa
Barat. Kesejukan semilir lembah, rerumputan nan hijau dan barisan
pepohonan pinus yang indah menjulang membuat langkah-langkah kaki kami
(aku, Ican, Mellon, Tika, Nia dan Miftsex) tak rasakan lelahnya
pendakian.
Sekitar satu jam telusuri jalur pendakian sampailah
kami di titik tinggi pertama (1600 mdpl), selanjutnya Jalur yang dilalui
mulai terasa sulit. Tanah merah berdebu, undakan-undakan yang cukup
tinggi, akar-akar pohon hutan yang menjulur rambat serta bebatuan gunung
yang menyembul dari permukaan tanah menjadi pijakan kaki-kaki kami
jejaki jalur pendakian. Di tempat ini, atmosfer di sekitaran terasa
semakin sejuk, baik sekali bagi kesegaran nafas para pendaki.
Di titik tinggi 1560 mdpl, Peta Rupa Bumi Digital Indonesia kawasan
Bandung Utara dibentangkan. Tepat di hadapan kami terdapat dua jalur yang
menghubungkan kedua gunung. Jalur kiri menuju Gunung Burangrang dan
jalur kanan menuju Gunung Tangkuban Parahu. Kedua jalur tersebut
sama-sama melipiri punggungan gunung. Bagi kami, Peta merupakan penunjuk
arah utama setelah Kompas, apabila ada GPS itu tentu akan lebih baik.
Setelah beristirahat beberapa menit sambil menghirupi segarnya udara
pegunungan, pendakian pun dilanjutkan. Melalui peta rupa bumi dapat
dipelajari lapisan kontur tanah makin terlihat rapat, itu bisa diartikan
jalur pendakian kian terjal dan menanjak sekitar sekitar 40 - 90
derajat yang membuat kami harus mendongakkan kepala untuk melihat jalur
pendakian di depan.
Pendakian dilanjutkan. Air mineral sedikit
demi sedikit telah hilang di tenggorokan. Membasahi kerongkongan kami
yang mulai terasa mengering. Tapi puncak Burangrang masih sekitar 2,5
jam pendakian lagi. Jadi, tak ada pilihan lain bagi kami selain terus
menjejakkan kaki dan tiba di puncak.
Pada titik ketinggian 1700
mdpl, udara kian terasa dingin dan perlahan berkabut. Hanya sesekali
sinaran matahari masuk menembusi dedaunan hutan kemudian meredup kembali.
berlapis kabut tebal-tipis lah yang menutupinya. Kicauan burung riuh
terdengar, bermacam riuh suaranya. Lengkingan lutung pun terdengar
melengking-lengking di kejauhan. Mungkin mengabarkan kepada kawanannya
tentang keberadaan kami di sekitar teritori kehidupannya. Duhai alam..,
liar lah kau..!!!
Dari sekitar tempat tinggi ini juga, kami, sang
para pendaki disuguhkan lukisan pemandangan alam nan mengagumkan.
Tempat yang bagus sekali untuk berfoto-foto atau sekedar melepaskan
lelah yang mulai menjalari kaki. Barisan hutan pinus 200 meter dibawah
kaki kami begitu indah di pandangan. Tak habis disitu, punggungan Gunung
Tangkuban Parahu dengan lembahnya yang hijau lebat tersirami sinar
matahari, begitu cantik memikat hati.
Naik lagi ke titik tinggi 1922
mdpl, persediaan air mulai menipis. Menurut Peta Digital ada sebuah
mata air sekitar 100 meter di atas sana dan itu baru perkiraan saja
menyadari musim sedang kemarau sehingga belum tentu bagi kami
menemukannya. Meski begitu pendakian jalur terjal tetap ditaklukkan.
Sampai di sekitar titik tinggi 1980 mdpl, persediaan air semakin tipis.
Hanya tinggal tersisa 2 liter air saja dan itu jelas tidak akan cukup
walau untuk sekedar menjejak di puncak. Peta Digital kembali dibuka,
diamat-amati dan coba dipahami. Menurut perkiraan memang ada sebuah
sumber mata air tidak jauh dari tempat kami berdiri, berada di luar jalur
pendakian, turun ke sisi tebing sebelah kiri dengan tatanan kontur tanah
yang rapat sebanyak 5 tingkat. Itu bisa diartikan bagaikan menuruni
bangunan 10 lantai dengan menggunakan tangga darurat !!!
Dua
orang dari kami segera mencari sumber air. Ican dan Mellon yang
dikirimkan. Sedangkan kami yang sisa berempat ini menunggu sambil
melepaskan lelah yang mulai akrab di kaki. Suasananya Tenang sekali,
dihibur cericau burung yang bermain-main di ranting. Diantaranya ada yang
terlihat sedang memakan ulat, lucu sekali. Udaranya tetap dingin,
walaupun matahari bersinar seterik-teriknya di langit.
Sekitar 1 jam
Ican dan Mellon turun mencari air, mereka pun kembali. Kabar yang
dibawanya, “Sumber airnya kering! ini pasti pengaruh musim, kita memang
sedang di penghujung kemarau,” katanya. Peta Digital kembali dibuka.
Perkiraan sumber mata air terdekat adalah setelah melewati puncak, dan
itu sungguh tidak mungkin untuk dicapai. Pilihan lainnya adalah turun
kembali ke titik 1630 mdpl, di sekitar sana juga diperkirakan ada sumber
mata air yang diharapkan mengalir.
Kali ini aku dan Miftsex yang
mencari. Keril isi maksimal 80 liter kukosongkan. Rencananya kami akan
menganngkut air dengan menggunakan
double trashbag. Paling tidak dengan
menggunakan kantung itu sekitar 50 liter air dapat diangkut sekalian.
Udara semakin dingin, cahaya didalam hutan pun semakin meredup, padahal
hari belum terlalu sore. Kabut bergulung yang merayapi barisan
pepohonan hutan terasa mulai menyulitkan jarak pandang. Seperti jalur
pendakiannya, jalur turun yang dilalui pun terlihat makin curam.
Adrenaline meningkat, sedetik darah serasa berdesir saat harus melewati
sebuah jalur dimana kami berada diantara kedua jurang. Di kiri dan kanan
jurang, tak terhitung dasarnya yang terselimuti kabut. sangking takjub
melihat kedalaman kedua jurang yang membelah jalur pendakian ini, aku
memberikan nama khusus sebagai "Jalur Shirotol Mustaqim". Sesuatu yang
membuat diri rasakan tenang menjejakkan kaki disana adalah ruas jalurnya
yang landai, tak ada tanjakan ataupun turunan sehingga kami dapat
melangkah-langkah dengan santai dan tenang. Ketenangan saat melintasi
jalur ini amat sangat disarankan.
Sampai di titik yang ditentukan,
Peta Digital di genggamanku kembali dibuka. Di sekitar tempat ini lah
diperkirakan sumber mata air itu berada. Setelah menebas semak belukar
di sekitaran terbukalah sebuah jalur berkontur batu yang tampaknya sudah
lama tidak dilewati pendaki. "Mungkin ini adalah jalur menuju sumber
mata air itu," gumamku. Kondisi jalur yang akan dilewatinya rusak yang
bisa diartikan sebagai jalur yang sangat-sangat curam untuk dilalui.
Undakan bebatuan yang dipijaki licin berlumut, bercampur pula tanah
merah berdebu membuat siapapun harus ekstra hati-hati melangkahinya
apabila tidak ingin terperosok dan entah mendarat di jurang sebelah mana.
Setelah sekian puluh meter terus menuruni jalur lumut berbatu,
tanda-tanda keberadaan mata air belum juga tampak. Hati kecil sempat
cemas mengingat teman-teman sudah menunggu kami cukup lama di atas sana.
Keadaan suasana di dalam hutan semakin gelap, tapi kami yakin arah yang
ditempuh sedikitpun tidak tersasar. Walau lelah, kami berusaha untuk
tetap berada di jalur yang harus dengan cermat-cermat pula dilaluinya.
Cahaya yang menembus ke dalam hutan semakin meredup. Penerangan bantuan
belum sangat kami perlukan sebab jalur yang dilalui masih terlihat walau
mulai samar. Hatiku mulai cemas, tapi ku usahakan untuk tidak terlalu
menguasai karena akan merusak konsentrasi. Saat beristirahat sejenak
sempat kuputuskan untuk menghentikan pencarian sumber mata air karena
kondisi disekitaran mulai gulita dan berkabut. Haus ditenggorokan sudah
tidak dirasai lagi, namun bayangan air dingin nan sejuk semakin
membayang-bayang di mata. Sebelum putus asa dan benar-benar tersesat,
pencarian air terpaksa dilakukan ke desa terdekat dengan sejuta resiko
dan konsekuensinya, potong jalur kompas jadi pilihan terbaik.
Bukit Pintu Angin lah yang paling dekat. Gulita sudah benar-benar
menguasai. Tapi hati kami begitu tenang karena sumber mata air telah
di hadapan. Temanku Miftsex sudah bisa tertawa-tawa lagi. Raut wajahnya
sudah tidak sekaku tadi waktu di hutan. Bukannya untuk menggoda, tetapi
dia terlihat begitu cemas tadi.
Sambil mengisi
trashbag dengan
air yang keluar dari pancuran milik warga desa,
Wahcigarette sebatang
dua dibakari. Aroma nirwana membumbung wangi sekali, bawakan kami
sejuta ketenangan di hati. Kami tertawa-tawa di rindangan pohon mengingat
perjalanan turun mencari air tadi. Cuaca memang sedang dipengaruhi musim
kemarau, jadi wajar saja jika sumber mata air mengering.
Dalam
beberapa menit, separuh
double trashbag telah terisi air, tinggal
beberapa liter lagi tentu akan cukup untuk persediaan hingga esok hari.
Setelah dirasai cukup,
double trashbag tersebut dimasukkan ke dalam
keril, sekitar 60 liter air telah siap untuk diangkut. Sesuai dengan
perjanjian tanpa materai 6 ribuan, kami akan memikulnya bergantian. Ada
canda disana, "Seperti mempraktekkan peribahasa saja, “Berat sama
dipikul, ringan sama dijinjing”, seloroh Miftsex cairkan suasana.
Perjalanan memikul air kembali menuju titik tinggi 1980 mdpl dimana
teman-teman menunggu terasa sangat berat.
Double trashbag berisi sekitar
60 liter air lah yang membuat langkah-langkah kami kami tak mampu untuk
mendaki cepat. Seisi hutan sudah gulita semuanya. Cahaya senter dalam
genggaman dengan susah payah menembusi kabut tebal yang menghalangi
pandangan. Suasananya mencekam, tapi kaki-kaki tetap kami langkahkan tuk
segera sampai di tujuan.
Sampai di titik yang telah ditentukan,
ternyata teman-teman sudah tidak berada disana. Keyakinan kami
mengatakan mereka sudah pindah lebih dahulu mencari
space untuk
mendirikan tenda. Kaos yang kami kenakan sudah basah sejak tadi oleh
keringat. Nafas yang tersengal-sengal diatur hela hembusannya untuk
tetap stabil. Kukatakan pada Miftsex kalau teman-teman tidak jauh dari
sini. Menurutku berdasar keterangan Peta Digital ada sebuah dataran yang
kiranya cukup untuk mendirikan 1-2 buah tenda sekitar 60 meter di atas
sana.
Perkiraanku tidak meleset. Teman-teman memang berada
di tempat itu. Tenda berkapasitas 7 orang sudah tegak didirikan. Demi
mengabarkan kedatangan, kutirukan seruan si Amang dan berjawab.
Teman-teman berhamburan menyambut kami.
Keril berisi sekitaran 60
liter air segera kuserahkan. Senyuman dan salam dari teman-teman sudah
lebih dari cukup sebagai penghargaan. Merebahkan badan sambil
menghilangkan pegal-pegal di kaki memang sudah direncanakan semenjak
di bawah tadi. 3 jam perjalanan turun-naik membuat diri merasakan lelah
yang sangat. Udara dingin yang meliputi seisi hutan tidak terasa
mengganggu, badan ku sesekali berasap memuaikan uap keringat. Dan
di hamparan matras yang digelarkan teman-teman aku sempat tertidur
sejenak.
Minuman panas dan makan malam sudah terhidang saat aku
dibangunkan. Udara dingin dalam sekejap menjalari seluruh tubuh.
Kukenakan mantel tebal tuk menghangatkan badan. Teman-teman yang lain
bersenda gurau mengitari perapian. Langit di atas Burangrang begitu
cerahnya malam ini. Bintang kerlap-kerlip bertebaran memayungi, indahnya
bukan main. Suasana seperti inilah yang dirindukan setiap pecinta alam,
kedamaian yang menenangkan.
Lepas dari tengah malam, kami semua
masuk ke dalam tenda. Udara dingin mulai terasa menggiti tulang. Untuk
menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, perapian pun dimatikan.
Tibalah saat bagi kami tuk beristirahat sebab esok pendakian menuju
puncak Burangrang harus dilanjutkan.
HUTAN BURANGRANG pukul 07.10 pagi.
Mataharinya cerah sekali. Tapi kabut tebal tipis masih terlihat
menguasai. Teman-teman masih tertidur di dalam tenda. Walau sudah tahu
kesiangan mereka tetap enggan melepaskan
sleeping bag yang membaluti
badan. Kuhirupi kesegaran udara di luar. Kusempatkan juga melakukan
sedikit gerak badan sambil berjalan-jalan diantara pepohonan hutan.
Nikmati suasana pagi di hutan Burangrang sungguh menyenangkan.
Saat kembali ke tenda, teman-teman sudah bangun semuanya. Mellon dan
Miftsex terlihat menyiapkan sarapan, yang lain membereskan peralatan
tidur dan merapikannya. Aku langsung memesan segelas teh manis panas,
rasanya nikmat sekali diminum di udara pagi sedingin ini.
Lewat
dari tengah hari pendakian menuju puncak pun dilakukan. Kaki-kaki kami
kembali menelusuri jalur pendakian. Seperti sejak di awalnya, jalur
menuju puncak terlihat semakin terjal dan curam, berliku, dan menanjak
turun. Langit di atas Burangrang tertutup mendung yang bergelayut. Udara
dingin cepat sekali menguasai. Lapisan kabut yang bergulung membuat
nafas tersengal-sengal, kami sampai harus beberapa kali berhenti untuk
menguasai keadaan.
Sampai di titik tinggi 2002 mdpl keindahan
alam semakin memukau. Tengkukku sampai merinding melihat jurang-jurang
yang tak dapat diukur berapa meter kedalamannya. Kalau saja ada yang
terjatuh sudah tentu akan sulit sekali ditolong dan ditemukan.
Dihadapan kami pula sebuah tebing tinggi indah menjulang, mengalahkan
keangkuhan siapapun yang memandang. Tangan-tangan angin selama ribuan
tahun lah yang mengukirnya, cadas dan terjal. Hati berseru, Allah Maha
Besar !!!
Puas dengan keindahan tebing nan terjal dan
jurang-jurang yang sangat dalam, pendakian menuju puncak Burangrang pun
dilanjutkan. Jalur yang dilalui semakin
extreme dan menegangkan.
Adrenaline ku memuncak saat kami tiba disebuah jalur menanjak dengan
bebatuan cadas bercampur debu sebagai pijakan. Tak ada apa-apa di kiri
dan kanan selain jurang dan jurang. Licin sekali disini. Sangat
disarankan untuk tetap tenang-tenang memilih pijakan. Sebuah prasasti
sebagai nisan peringatan dari seorang pendaki yang tewas menghias
pinggiran jalur pendakian,
“In Memoriam..” mengingatkan setiap pendaki
untuk tetap mawas diri dan hati-hati menghadapi Burangrang nan garang.
Lepas dari tanjakan berkontur batu nan
extreme tadi, puncak Burangrang
tegaklah dihadapan. Hanya tinggal beberapa meter saja sampailah diri
menyentuh sebuah tugu sebagai titik puncak 2064 mdpl nya. Sejuta syukur
dipersembahkan kepada Sang Pencipta telah merestui kami menikmati
keindahan alam di atas puncaknya.
BURANGRANG.., Garang….
BURANGRANG.., Aku Datang…..!!!
Teks dan photo by Firmanto Hanggoro